Pustaka Anak Bangsa, Wahana Eko Cahyono dalam Membawa Pelita Bagi si Buta Aksara

“Buku adalah pembawa peradaban. Tanpa buku, sejarah itu sunyi, sastra itu bodoh, sains lumpuh, pemikiran dan spekulasi terhenti. Buku adalah mesin perubahan, jendela di dunia, mercusuar yang didirikan di lautan waktu.” – Barbara W. Tuchman

Kata “penting” sepertinya tidak cukup untuk mendeskripsikan nilai dari sebuah benda yang kita sebut buku. Kita bisa terhubung dengan masa beribu-ribu tahun yang lalu karena adanya catatan. Catatan itu yang “berbicara” pada kita tentang siapa dan apa yang hidup kala itu. Serta segala hal yang menyertai kehidupan mereka.

Proses pencatatan terus berkembang dari masa ke masa. Awalnya manusia zaman dulu menggunakan batu tajam untuk mencatat. Seiring bertambah majunya zaman, mereka meninggalkan batu dan mulai beralih ke buluh, kuas, pensil, pena, hingga akhirnya kita sampai pada masa yang memanjakan kita dalam mencatat, yakni gawai.

Para penjelajah masyhur pun mengandalkan catatan dari penjelajah sebelumnya. Selanjutnya mereka menuliskan pengalaman mereka sendiri yang nantinya dijadikan referensi oleh penjelajah lainnya. Catatan-catatan itulah yang membuat kita kini bisa mengenal berbagai wilayah yang terletak jauh dari tempat kita menetap.

Seorang guru saya pernah berkata bahwa peradaban Nusantara sebenarnya tidak kalah hebat dari peradaban Yunani Kuno atau Tiongkok. Namun, karena minimnya bukti tertulis menjadikan kebudayaan leluhur kita seolah-olah tidak begitu digjaya bila dibandingkan dengan peradaban lainnya.

Usaha Pemerintah dalam Memberantas Buta Aksara

Angkatan 90-an pasti tidak asing lagi dengan istilah Wajar (Wajib Belajar) 9 Tahun. Sembilan tahun ini mencakup jenjang Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Kala itu, saya masih SD dan belum terlalu paham makna dan manfaatnya. Malah teman-teman sering memplesetkannya menjadi “wajib dihajar”.

Pada masa pemerintahan presiden kelima, kebijakan wajib belajar ini bertambah menjadi 12 tahun. Secara teori tentunya hal ini merupakan suatu kemajuan yang patut diapresiasi. Namun, pada kenyataannya masih banyak anak yang belum tersentuh bangku sekolah.

Sejak 2005 pemerintah menerapkan sekolah gratis untuk jenjang SD dan SMP. Dan, mulai tahun ajaran 2012/2013 penerapan sekolah gratis menjadi sampai SMA. Saya angkat topi untuk semua pihak yang berkontribusi dalam pengesahan kebijakan ini.

Akan tetapi, perjuangan untuk mencerdaskan anak bangsa tidak berhenti di sana. Tidak meratanya sumber daya, infrastuktur, dan fasilitas menjadikan daerah terpencil tidak mendapatkan kebermanfaatannya sama banyak dengan yang tinggal di daerah perkotaan.

Beberapa saat lalu, saya melihat sebuah konten di social media yang memperlihatkan anak SMP yang belum lancar membaca. Tentu hal ini merupakan suatu pukulan telak.

Jangankan yang tidak bersekolah, yang bersekolah pun ternyata ada yang belum terlalu karib dengan aksara. Padahal kemampuan membaca ini merupakan hal paling sederhana yang sepatutnya bisa dimiliki murid di tingkat dasar.

Pustaka Anak Bangsa Turut Berkontribusi dalam Pemberantasan Buta Aksara

Pustaka Anak Bangsa, Wahana Eko Cahyono dalam Membawa Pelita Bagi si Buta Aksara

Segala apa yang pemerintah canangkan akan sulit terealisasi tanpa adanya campur tangan semua pihak, baik orang tua atau masyarakat luas. Misalkan ada anak yang enggan sekolah, orang tua sepatutnya memberikan motivasi dan arahan agar anak tersebut mau bahkan bersemangat pergi ke sekolah.

Kemudian untuk masyarakat luas, ini bisa siapa saja. Saya ambil contoh seorang penulis. Penulis bisa berkontribusi dengan menuliskan apa yang menjadi gagasannya yang dapat memberikan pencerahan bagi orang lain.

Nama Tere Liye pastinya sudah tidak asing lagi bagi pecinta novel. Ada salah satu karyanya yang berjudul Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin. Dalam buku itu ada sosok bernama Danar yang peduli pada anak-anak yang kurang beruntung.

Dia hadir bak malaikat dalam kerasnya hidup manusia-manusia yang bahkan belum mengerti sepenuhnya betapa malangnya mereka. Mereka masih bisa tertawa lepas di antara perut keroncongan dan tiadanya tempat tinggal.

Danar melakukan aksi nyata dengan menghadirkan tempat belajar bagi anak-anak jalanan. Tokoh fiktif saja bisa menyentuh hati banyak orang. Apalagi saat saya mengetahui ada tokoh nyata yang melakukan hal yang serupa dengan apa yang Danar lakukan.

Adalah Eko Cahyono, sang penggagas Pustaka Anak Bangsa. Lelaki asal Malang ini menyediakan layanan perpustakaan keliling. Adanya kebijakan belajar 12 tahun dari Pemerintah tidak membuatnya merasa semua sudah aman terkendali, karena faktanya masih banyak anak yang tidak bersekolah.

Alih-alih mencari celah untuk menyalahkan pemerintah, Eko memilih untuk turut berkontribusi dalam upaya pemberantasan buta huruf. Pustaka Anak Bangsa kini tercatat telah memiliki 26 perpustakaan yang tersebar di 35 desa di tujuh kecamatan se-Kabupaten Malang, antara lain Poncokusumo, Tumpang, Wates, dan Kepanjen.

Eko Cahyono, Sang Pelita Nyata, Bukan Tokoh dalam Cerita

Saat kita menemukan tokoh fiksi yang hebat dan menginspirasi terkadang hati kecil berkata, “Ah, itu kan cuma dalam cerita, mana mungkin ada orang seperti itu!”. Padahal kalau kita mau sedikit merenung banyak tokoh-tokoh khayalan itu yang diciptakan berdasarkan tokoh nyata.

Semisal tidak begitu, kita tetap bisa mencontoh teladan yang tokoh fiksi itu berikan. Kita bisa memulai sesuatu dengan hal-hal sederhana. Selain itu, lakukan sekarang juga, tanpa harus menunda-nunda dan banyak protes.

Eko Cahyono pun memulai hal yang besar ini dengan sebuah niat sederhana. Masih adanya anak-anak yang tidak bersekolah memicu semangatnya untuk membuat mereka bisa membaca dan menulis. Meskipun sederhana, tetapi itu sangat mulia, bukan?

Beliau pun memulai langkah inspiratifnya di kota tempat tinggalnya. Perlahan tapi pasti, langkah-langkah itu semakin melesat merambah hal yang jauh lebih luas dari perpustakaan. Seperti belajar komputer, melukis di kanvas, menonton film bareng, belajar masak, menjahit, diskusi setiap Sabtu malam, hingga menanam obat-obatan tradisional.

SATU Indonesia Awards, Sebuah Apresiasi Sebagai Bukti Konsistensi

Eko Cahyono, sang Pelita Nyata, Bukan Tokoh dalam Cerita

Meskipun kita melakukan hal baik tanpa mengharap pamrih, akan selalu ada pihak yang mengapresiasi ketulusan itu. Apa yang dari hati akan sampai pula ke hati. Apalagi langkah Eko Cahyono ini telah menjadi pelita bagi banyak orang. Waktu 15 tahun bukanlah waktu yang singkat. Hal itu menggambarkan sebuah konsistensi dari orang yang peduli.

Pada tahun 2012, Eko mendapatkan apresiasi dari Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards. Semangat beliau untuk membebaskan anak-anak dari buta aksara selaras dengan semangat Sumpah Pemuda. Semangat itu pula lah yang melandasi Astra untuk mempersembahkan apresiasi bagi generasi muda yang tak kenal lelah memberi manfaat bagi masyarakat di seluruh penjuru tanah air.

SATU Indonesia Award merupakan apresiasi Astra yang diberikan kepada anak bangsa yang senantiasa memberi manfaat bagi masyarakat dalam lima bidang, yaitu Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan, dan Teknologi, serta satu kategori Kelompok yang mewakili lima bidang tersebut.

Eko Cahyono layak mendapatkan penghargaan ini karena kontribusinya dalam dunia pendidikan tidaklah kecil. Semakin hari cakupan perpustakaan kelilingnya semakin luas, bahkan menjangkau pos ojek, salon, bengkel motor, rental komputer, dan lain-lain.

Eko Cahyono dan Pustaka Anak Bangsa Menebar Semangat untuk Hari Ini dan Masa Depan Indonesia

Segala kemajuan yang negeri ini harapkan tidak bisa terwujud tanpa adanya kerjasama dari berbagai pihak. Pemerintah sebagai pembuat dan pelaksana kebijakan tidak bisa berjalan sendiri. Pada praktiknya, masih banyak hal yang tidak seideal teori.

Begitu pun dalam bidang pendidikan, pemerintah dengan program-program bagusnya perlu dorongan dari berbagai lapisan masyarakat. Sebuah brand bisa berkontribusi dengan sokongan dana dan nama besarnya untuk membantu pemerintah meningkatkan taraf pendidikan Indonesia.

Sebagai individu pun, Eko Cahyono mampu menjadi bukti nyata sebuah kepedulian. Bersama komunitas Pustaka Anak Bangsa, gerakan mulia itu semakin bertambah luas kebermanfaatannya. Perpustakaan keliling itu telah dan akan selalu menebar semangat untuk hari ini dan masa depan Indonesia yang jauh lebih baik. Lalu, kapan giliran kita?