Angin malam bertiup begitu kencang,
menyanyikan kepedihan yang tak terungkap.
Kesunyian menari indah hingga malam terasa kian mencekam,
dan kelamnya malam menyempurnakan kehampaan yang ada..
Sepasang kaki melangkah dengan enggan,
langkahnya begitu berat menapaki tiap jengkal tanah kekecewaan,
sang pangeran tampan pemilik sepasang kaki itu menghentikan langkahnya di dekat pohon besar, detik berikutnya dia telah duduk bersandar di Pohon tua itu..
Dia menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan berat, berharap rasa sakit hatinya akan terbuang bersama hembusan nafasnya.. Dia menatap langit hitam yang tak berbintang, di sana hanya ada rembulan, tak ada yg lain, dia pun mulai mengajak bulan berbincang.. ” Bulan, aku sedang galau, jika tak keberatan tolong temani aku.” Hanya desau angin yg menjawab, bulan tetap tak bergeming.
Pangeran pun kembali berujar, ” Bulan, mengapa ada kepedihan di balik kata-kata manisnya?! Mengapa dia memberikan air pengkhianatan dalam gelas cintanya?! Mengapa ada kesedihan dalam singgasana kasih sayangnya?! Mengapa dia menghadiahkan kekecewaan setelah menghadiahkan segunung harapan?? Mengapa bulan?! Bulan tetap tak menjawab tapi cahayanya semakin nyata, hangatnya cahaya itu menembus relung hati sang pangeran.
” Bulan, apa kau sedang tersenyum padaku?! Adakah yang hendak kau sampaikan padaku?!”
” Oh aku tahu bulan, kau sedang menghiburku bukan?! Kau ingin berkata bahwa kepedihan tak slamanya memberikan kesedihan, kepedihan juga bisa memberikan kebijaksanaan, begitu bukan?! Awan hitam bergerak mendekati sang bulan, trus mendekat hingga menghalangi cahayanya, pangeran terpaku melihat bulan yang kini tak seterang tadi..
” Kau pasti bercanda bulan, kau memintaku berusaha memaafkn dia?! Tapi.. Tapi.. ” Benarkah itu bulan?! Benarkah kau ingin aku memaafkan dia?! Seperti kau yang memaafkan awan hitam yg menghalangi cahayamu itu, kau tetap memaafkannya walaupun dia telah menghilangkn keelokanmu.”
Perlahan sang pangeran menutup kedua matanya. Angin malam membawa dia pada kenangan indah dalam hidupnya. Detik berikutnya angin menghempaskan dia pada jurang luka hatinya.
Ada kepedihan tak terperi yang menggerogoti perasaannya. Ingin dia membiarkan kebencian tumbuh subur dalam hatinya, tapi dia sangat tidak ingin lentera ketulusan hatinya padam karena kebencian itu.
Air muka pangeran perlahan melembut, masih dengan mata terpejam dia berkata lirih,
“Ya, tentu saja aku akan memaafkanmu. Aku yakin aku bisa memaafkanmu. Bukan untukmu, tapi untukku, karena aku ingin seperti bulan. Bulan yang pemaaf.”
14 Oktober 2009