Suasana Ramadhan Tahun 90-an yang Tak Terlupakan

Saya kerap mendengar keluhan dari rekan sebaya bahwa suasana Ramadhan sekarang kurang terasa vibes-nya. Saya menerjemahkan pernyataan tersebut sebagai rasa rindu pada bulan puasa di masa lalu.

Sebagai generasi 90-an tentu masa-masa sebelum ada gawai merupakan kenangan berharga. Saat itu, hubungan pertemanan lebih terasa karena interaksi sesama manusia jelas lebih intens daripada hubungan anak-anak zaman sekarang.

Selepas sekolah, anak-anak zaman dulu berlarian ke tanah lapang. Kami main gobak sodor, engklek, lompat tali, kejar-kejaran, hingga menerbangkan layangan. Menjelang sore, kami pulang, membersihkan diri, lalu bersiap ke masjid.

Bahkan ada yang juga mengaji setelah salat Subuh dan pergi ke sekolah agama di siang hari. Apa pun pilihan kegiatannya, kami lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah.

Pada masa-masa itu, fisik dan interaksi sosial kami benar-benar bergerak dan berkembang. Saya merasa beruntung mempunyai kenangan masa kecil di tahun 90-an.

Suasana Ramadhan

Pada awalnya saya mengamini pendapat sebagian besar anak 90-an lainnya yang menganggap Ramdhan kehilangan vibes-nya. Hingga kemudian suatu hari saya menemukan penjelasan yang mampu mengubah cara berpikir itu.

Saya tidak bisa mengingat kata-kata siapa yang telah mampu memberikan insight baru itu. Katanya, kita mengingat Ramadhan hanya terbatas pada sesuatu yang di luar esensinya, seperti berburu takjil, meminta tanda tangan khatib, atau ngabuburit. Sehingga saat kita sudah dewasa dan tidak lagi melakukannya, kita merasa kehilangan vibes Ramadhan.

Hal yang mesti kita luruskan adalah bahwa Ramadhan itu adalah momen untuk memperbanyak ibadah. Ramadhan itu saum, tarawih, tadarus, zakat, dan ibadah lainnya. Sehingga sampai kapan pun kita akan merasakan suasana Ramadhan selama kita fokus untuk meningkatkan kualitas ibadah.

Akan tetapi, meski demikian, suasana Ramadhan tahun 90-an merupakan salah satu bagian terbaik dalam hidup saya. Sehingga sampai kapan pun kenangan tentangnya tidak akan terlupakan. Pada kesempatan ini, saya akan mengangkat jangkar kenangan dan kembali ke masa itu sekejap.

Jalan-Jalan Selepas Subuh

Suasana Ramadan di sepuluh hari terakhir

Hal pertama yang saya ingat perihal kenangan Ramadhan adalah jalan-jalan. Ini bukan ngabuburit (dari kata burit yang artinya sore), tetapi ngabeubeurang (dari kata beurang yang artinya siang).

Setiap setelah sahur dan salat Subuh, saya menuju masjid untuk mengaji bersama teman-teman. Setelah itu, kami berjalan kaki hingga matahari tidak lagi malu-malu untuk menampakkan diri.

Tidak ada tujuan pasti ke mana harus melangkah, kami hanya menikmati momen bersama. Jalan kaki bergerombol bersama teman-teman dan berceloteh tentang hal-hal remeh temeh kini menjadi sesuatu yang tampak mahal karena tak kan pernah bisa terulang.

Bermain Monopoli

Selama bulan puasa, anak-anak berada dalam mode hemat baterai. Kami yang biasanya bergerombol di tanah lapang, pada bulan suci, menepi di rumah salah satu orang kawan untuk bermain monopoli.

Sebenarnya ada juga permainan sejenis lainnya seperti ludo dan ular tangga. Namun, monopoli jauh lebih seru, rumit, dang menyenangkan. Meskipun jarang menang, saya tetap menyukai games ini.

Saat selain bulan Ramadhan pun, kita selalu bisa memainkan monopoli, tetapi anak-anak kala itu lebih sering memainkannya untuk mengalihkan rasa lapar dan haus. Sehingga hingga kini saya mengingat permainan itu sebagai bagian dari vibes Ramadhan.

Suasana Ramadhan: Mengaji dan Takjil

Di setiap bulan Ramadhan, jadwal mengaji di masjid berubah. Dari yang awalnya setelah salat Magrib menjadi setelah salah Asar. Oleh karena itu, saya jarang ngabuburit karena jam-jam segitu waktunya mengaji.

Jauh sebelum ada tren war takjil, masa kecil saya sudah dimeriahkan dengan berbagai camilan dan makanan ringan itu. Bedanya, tidak perlu ada war karena kami semua pasti kebagian.

Meskipun bukan sesuatu yang mewah, tetapi sebagai anak-anak, rasanya senang sekali bisa mendapatkan makanan gratis. Meskipun tampak sepele di mata orang dewasa, bagi para bocah takjil bisa menjadi penyemangat saat berpuasa.

Menikmati Suasana Malam

Di hari-hari biasa, sebelum adzan Magrib berkumandang, saya sudah harus berada di rumah untuk kemudian bersiap-siap mengaji ke masjid. Di masjid pun, saya pure mengaji yang artinya setelah beres langsung pulang.

Khusus di bulan Ramadhan, saya merasakan sedikit kelonggaran untuk bermain di malam hari. Setelah selesai berbuka dan salat Magrib, saya biasanya langsung bergegas ke masjid.

Waktu sebelum adzan Isya merupakan waktu berharga. Saya dan teman-teman biasanya jajan atau sekadar ngobrol di sekitar masjid. Karena tidak terbiasa main di malam hari, saat-saat itu terasa sangat istimewa.

Salat Tarawih

Berburu pahala di bulan Ramadan

Setelah diingat-ingat, momen salat tarawih itu merupakan unsur paling dominan dalam membentuk suasana Ramadhan menjadi mengesankan. Entah mengapa, waktu itu saya dan teman-teman kerap membawa bekal camilan, seperti yang mau piknik saja.

Selain itu, kami pun meniru para lansia yang salat sambil duduk. Tentu tidak di semua rakaat kami duduk, di saat-saat kaki terasa agak pegal saja. Padahal salat tarawih plus witirnya hanya delapan rakaat. Banyak gaya memang.

Yang paling gong dari semua itu tentu sesi fansign ala idol Korea. Begitu salat tarawih selesai, anak-anak langsung menyerbu khatib. Uniknya, sebelum khatib menyampaikan khutbah buku kami sudah terisi rangkuman entah dari mana.

Penutup “Suasana Ramadhan”

Masa lalu memang hanya bisa dikenang tanpa mungkin terulang. Yang dapat kita usahakan adalah melakukan yang terbaik, agar tidak terlalu banyak penyesalan dalam hidup.

Bagian terbaik dari sepanjang kehidupan itu sendiri adalah masa saat kita menganggap tidur siang merupakan beban. Kala itu, kita belum harus menghadapi kerasnya kehidupan.

Kenangan masa kecil yang masih tersimpan baik dalam ruang memori adalah suasana Ramadhan. Hal-hal kecil yang dulu dilakukan terasa megah dalam ingatan.

Saking megahnya kita jadi kerap merasa Ramadhan tahun-tahun berikutnya kehilangan vibes. Meskipun kenangan itu indah, tetapi kita harus menyadari bahwa Ramdhan bukanlah hanya tentang hal-hal menyenangkan saat kecil.

Makna Ramadhan jauh lebih dalam dari itu semua. Itulah saat pahala dari apa yang kita kerjakan lebih bernilai daripada di hari-hari selainnya. Jadi, seharusnya kita tetap bisa menjalaninya dengan semangat berburu kebaikan sebanyak mungkin.

Perihal kenangan indah di masa kecil, biarlah itu menjadi salah satu pemanis dalam hidup kita. Jangan biarkan itu menganggu arti Ramdhan yang sesungguhnya. Bagaimana dengan kalian, Playmates? Apa memori di masa lalu yang paling ngena dengan suasana Ramadhan? Share di sini, yuk!

3 pemikiran pada “Suasana Ramadhan Tahun 90-an yang Tak Terlupakan”

  1. Wah seru banget kegiatan Ramadan waktu kecilnya teh. Aku dulu juga mirip sih, habis subuh langsung ngaji ke mesjid. Terus kalau weekend lari pagi dan main petasan, wkwkwk.

    Kalau anak sekarang di dekat rumahku ke mesjid juga selepas tarawih, tapi malah main handphone. Yang tadarus paling hanya beberapa orang saja, sisanya sibuk dengan handphone-nya masing-masing. Bener-bener beruntung banget zaman kita dulu.

    Balas
  2. Yg aku kangenin dari suasana ramadan tuh, pas mudik dan nunggu adzan rame-rame sama sepupu, seru banget. Sayangnya nenek kakek udah ga ada jadi nggak kayak dulu mudiknya

    Balas
  3. Suasana Ramadhan zaman dulu memang selalu punya kesan tersendiri. Tanpa gawai, interaksi sosial terasa lebih intens, dari bermain di lapangan sampai jalan-jalan sepulang Subuh. Hal-hal sederhana seperti ngaji bareng, main monopoli, hingga ngabuburit bareng teman-teman bikin Ramadhan terasa lebih hidup dan hangat. Meskipun sekarang banyak yang merasa vibes-nya kurang, esensi dari bulan suci ini tetap sama, kan? Fokus ke ibadah dan kebaikan, itu yang jadi inti dari Ramadhan sejatinya.

    Balas

Tinggalkan komentar