Cerita Kue Putu – Petang itu angin membuat ujung jilbabku sedikit berkibar. Udara dingin yang menyelinap membuatku sedikit terganggu. Setelah memastikan anak-anak bermain dengan aman bersama kawan-kawannya, aku memutuskan masuk ke rumah.
Sengaja aku memilih duduk di atas kursi dekat pintu agar mudah menghampiri jika salah satu anak memanggil. Saat sedang asik bercengkrama dengan imaji, aku kaget mendengar suara yang cukup melengking milik seorang gadis berperawakan mungil.
“Yuhuuuu, ada yang enak, nih.”
Adik iparku itu memang tipe orang yang ceriwis. Rumah akan kentara perbedaannya jika dia sedang tidak ada. Mataku langsung tertuju pada apa yang dia bawa. Bentuknya tidak asing, tetapi tidak sama persis dengan apa yang dapat kuingat.
“Kue putu, ni, Teh. Mau?”
Ya, itu memang kue putu, tetapi berukuran sangat kecil dan warna hijaunya pudar. Sudah lama sekali, aku tidak menemukan makanan itu sehingga aku tidak bisa menahan godaan untuk mencicipinya.
Aku sedikit kecewa saat mengetahui rasanya tidak seperti rasa yang pernah ada. *Eh. Namun, pertemuan dengan kue ini membawa anganku berwisata ke masa lalu, masa-masa saat semuanya masih berjalan dengan sederhana.
Saat itu, lebih dari dua puluh tahun lalu, suara khas dari penjual putu keliling merupakan irama penghias malam. Hampir setiap malam suara itu memeriahkan suasana sepanjang gang di samping rumah. Aku memang tidak membelinya setiap hari, tetapi suara itu telah menjadi bagian dari masa kecilku.
Kini saat aku memegang kembali kue putu ada suatu aliran rasa yang tidak bisa kujelaskan dengan kata. Betapa cepatnya waktu berlalu dan betapa kini aku telah jauh berbeda dari aku yang dulu.
Sepotong Kue Putu dan Masa Lalu
Ada sedikit rasa perih saat menyadari bahwa masa kecilku telah jauh tertinggal di belakang. Dan, aku hanya bisa mengenang dan merindu.
Jika ada hal mustahil di dunia ini yang benar-benar diriku inginkan untuk menjadi nyata, itu adalah adanya mesin waktu. Dengannya aku bisa mengonversikan rasa rindu ini menjadi temu dengan masa lalu.
Aku menelan manisnya gula merah yang bercampur lembutnya tekstur kue itu dengan senyum yang samar. Benar kata Dilan, rindu itu memang berat.
“Enak, Teh?” tanya adik iparku.
Dengan segala rasa yang berkecamuk, aku hanya sanggup mengangguk. Betapa kue sekecil itu ternyata mampu mengaduk perasaan. Kalian tahu kan kue putu?
Kue putu (dari bahasa Jawa: ꦥꦸꦛꦸ, translit. puthu; IPA: [puʈu]) adalah jenis kudapan tradisional Indonesia berupa kue dengan isian gula jawa, dengan balutan kelapa parut, dan tepung beras butiran kasar.
Para penjual kue ini mengukus dengan meletakkannya di dalam tabung bambu yang sedikit dia padatkan. Kudapan ini dahulu mereka jual pada saat matahari terbenam sampai larut malam. Suara khas uap yang keluar dari alat suitan ini sekaligus menjadi alat promosi bagi pedagang yang berjualan.
Kue ini umumnya orang-orang hidangkan dalam warna putih dan hijau. Sedangkan dalam varian Putu Bugis (berasal dari Sulawesi Selatan), biasanya mereka membuat kue ini menggunakan bahan seperti beras ketan hitam tanpa gula.
Hal tersebut menghasilkan warna kue yang gelap cenderung hitam. Putu Bugis biasanya mereka santap dengan taburan parutan kelapa dan sambal, serta hanya dijual pagi hari sebagai pengganti sarapan yang praktis. Melalui diaspora Jawa dan Bugis, kue putu juga menjadi populer di negara lain, seperti ke Singapura dan Malaysia.
Nah, itu dia penjelasan singkat tentang putu sang kue legendaris Indonesia yang dilansir dari Wikipedia. Di tempat kalian masih ada nggak yang jualan kue putu ini malam-malam? Share di sini, yuk, sama aku. Kita kenang masa lalu.
Sama, Mbak, saya juga baru tahu, hhe.
Belum pernah nyoba bikin sendiri, Mbak. ??
Di sini sudah jarang, Mbak. Paling di toko kue, bukan abang-abang keliling gitu.
Yang paling khas suara suitannya itu, Mbak, tapi udah lama nggak denger.
Iya betul, Mbak, paling ada di toko kue basah.
Iya, jadi ingat masa kecil. ?
Kenangan, di sini dulu abang-abangnya pake tanggungan gitu.
Wah, senangnya. Di sini sudah jarang.
Masih pake gratisan, Mbak, belum pakai aplikasi editan premium. ?
Karena Garut-Bandung tetanggaan jadi sama nih jualan putunya pake tanggungan. Tadi beberapa teman yang berasal dari daerah Jawa mengatakan pedangang putu itu kerap bersepeda.
Suara siutannya itu, ya, yang bikin kangen.
Wah, senangnya penjual kue putu keliling masih kerap ditemui. Kalau di sini sebelum pandemi juga sudah jarang.
Iya, paling ada di toko kue, tetapi sensasinya jadi berbeda.
Wah, suka nulis cerpen juga, ya. Keren ide ceritanya.
Kayak yang susah gitu, ya, bikinnya, nggak kayak makannya yang tinggal hap hap.
Itu, dari Wikipedianya, Mbak, bukan saya yang ngetik. ?