Dear Sahabat

Dear, sahabat.
Hai, gimana kabar kamu sekarang? Semoga kesehatan dan keberkahan selalu menyertaimu, ya. Dari kabar terakhir yang kudengar, kini kamu sudah menjadi seorang guru. Profesi itu sangat cocok sekali untukmu. Murid-murid pasti senang mempunyai guru sepertimu. Sama halnya seperti aku yang senang pernah menjadi seseorang yang dekat denganmu.

Sahabat, kamu masih ingat nggak awal pertemuan kita? Jujur, aku tidak ingat betul detailnya karena itu terjadi hampir 27 tahun yang lalu. Saat itu kita menjadi siswa di sebuah sekolah dasar yang sama. Aku belum terlalu mengenalmu karena kita beda kelas. Kamu kelas A, sedang aku kelas B.

Aku mulai dekat denganmu saat aku meminta pada orang tua untuk dimasukkan ke sebuah sekolah agama yang tidak terlalu jauh dari rumah. Ternyata di sekolah agama itu, aku sekelas dengan teman-teman SD kelas A, termasuk kamu. Aku mulai belajar di sekolah agama itu saat pertengahan caturwulan, maka jadilah aku anak baru di sana.

Meskipun saat itu aku masih kecil, tetapi aku bisa merasakan bahwa aku tidak sepenuhnya diterima di lingkungan sekolah agama. Sahabat, kamu pasti masih ingat kala itu cuma aku anak kelas B yang ada kelas kita. Sisanya anak kelas A dan siswa dari SD lain. Cuma kamu yang menawarkan persahabatan padaku. Ya, cuma kamu. Terima kasih banyak.

Seperti yang kamu tahu kelas A dan kelas B itu bisa dibilang tidak akur. Ada persaingan sengit di antara kita. (Ceileeh, gaya nya bocil SD) Dan, pemicunya adalah mata pelajaran penjaskes karena saat itu kelas kita digabung lalu menjadi lawan dalam praktik olahraga. Kalau diingat lucu juga, sih, gara-gara itu kelas kita jadi pabaeud-baeud kata orang Sunda mah.

Akan tetapi, semua itu bagiku kemudian tidak lucu lagi karena aku merasa menjadi korban. Selepas mata pelajaran Penjaskes itu, hanya aku yang kena getahnya karena memang hanya aku yang sekelas dengan kalian (kelas A) di sekolah agama. Betapa malang nasibku.

Saat itu aku belum terlalu mengerti, tetapi kini setelah dewasa baru aku mengerti kalau aku itu bisa dibilang korban bullying. Memang tidak secara fisik, tetapi secara verbal cukup sering. Setelah bertanding pada jam pelajaran Penjaskes, bisa dipastikan siang harinya di sekolah agama aku dilabrak. Kalian curanglah, main kasarlah, kata-kata semacam itu yang aku terima dari kalian. (Kelas A)

Sahabat, hal itu sangat tidak mengenakkan bagiku. Namun, tahukah kamu apa yang lebih menyakitkan dari itu? Ya, aku dikucilkan. Ada salah seorang di antara kalian yang menunjukkan ketidaksukaannya padaku dengan jelas. Yang lainnya tidak terlalu menampakkan, tetapi aku diasingkan, jarang diajak bicara, dan dianggap hampir tidak ada. Sangat menyakitkan.

Sahabat, di tengah situasi yang membingungkan bagi si kecil aku itu, cuma kamu yang menganggapku teman. Kamu tidak menjauhiku. Malah kala itu kita lengket seperti prangko. Bukan hanya di sekolah agama, aku ingat aku pun pernah kamu ajak bermain ke tempat kerja ayahmu. Saat itu beliau mentraktir kita minuman bersoda yang berwarna merah. Sampai kini, aku tidak bisa lupa akan kenangan manis itu.

Sahabat, jika ada yang boleh aku sesalkan adalah betapa singkatnya masa-masa kamu menemaniku. Saat naik ke kelas 3 kamu pindah sekolah agama. Memang kita masih bertemu di SD, tetapi semua tidak sama lagi. Di sekolah agama aku jadi benar-benar sendiri. Setiap menjelang pukul 2 siang hatiku terasa kosong karena harus memasuki dunia yang tak pernah menginginkan aku ada di dalamnya.

Aku tidak tahu kenapa aku tidak pernah membicarakan hal ini dengan siapa pun. Please lah saat itu aku butuh pertolongan. Namun, aku memilih diam sampai bisa menyelesaikan sekolah agama empat tahun kemudian. Aku pun tidak mengerti, mengapa aku tidak keluar saja dari sana. Oh, what a tough i was.

Semakin bertambah usia, bertambah pula kematangan dalam diri. Aku tetap berada di lingkungan yang sama dengan para pembully-ku hingga lulus SMA. Aku tidak tahu bagaimana awalnya, tetapi hubunganku dengan mereka telah berubah. Tidak ada lagi bullying. Namun, enam tahun hidup dalam pengucilan, cukup membuatku menjadi pribadi yang sering merasa insecure.

Sahabat, semuanya telah menjadi masa lalu. Namun, selamanya aku berterima kasih untuk ketulusanmu. Meskipun kini, aku telah menjadi orang asing bagimu, tetapi di hatiku kamu tetap menempati tempat istimewa. Terima kasih sahabat masa kecilku.

With love

 

Your old friend

28 pemikiran pada “Dear Sahabat”

  1. Mereka yang tak mengalami di-bully dan dikucilkan mungkin sulit mengerti soal perasaan insecure semacam ini. Butuh waktu untuk menerima dan melepaskan diri dari perasaan semacam itu.

    Balas
  2. Cerpen yang bagus dan dekat dengan keseharian. Bullying atau perisakan masih saja ada walau perpeloncoan sudah dihapuskan. Itulah perlunya teman curhat yang bisa dipercaya, serta membangun kepercayaan diri untuk melawan perisakan tersebut, bisa melalui prestasi, kompetisi olahraga, kesenian, atau sampai belajar bela diri

    Balas
  3. Iya yah jenis bullying itu memang macem macem.. dulu sering sih ditegur ini itu sama senior, tapi ngagk pernah mikir itu bully karena emang yang dikatakannya ada benarnya.. cuma emang suka minder sendiri

    Balas
  4. Di bully dan dikucilkan sama seperti kisahku waktu kecil krn aku anak TKW tp membuatku ingin membuktikan.bahwa kelak dewasa aq lebih baik.dr orang yg membullyku.

    Aq jg py sahabat jd guru juga di pulau sebrang Alhamdulillah setahun lalu kami.sempet ketemu.

    Balas
  5. Saya punya sahabat seperti ini saat SMA. Kami berdua jadi akrab karena sama-sama merasa terkucil di sekolah elit dan favorit di kota kami. Tapi dia sudah pulang ke rumah Bapa di surga.

    Balas
  6. Y ka emang jadi korban bully itu sangat berbekas apalagi kalau kita rasakan saat anak2. Sekarang sebisa mungkin kujaga anakku supaya tidak jadi korban ataupun pelaku bullying..

    Balas
  7. Jaman SD paling berat untuk saya, dibully karena kekurangan fisik. Walaupun udah lama Lewat tetap kadang bikin sedih kalau diingat.. semangat terus ya mba, kita bisa bangkit, aamiin!

    Balas

Tinggalkan komentar