Dear Sahabat

Dear, Sahabat. Hai, bagaimana kabar kamu sekarang? Semoga kesehatan dan keberkahan selalu menyertaimu, ya. Dari kabar terakhir yang kudengar, kini kamu sudah menjadi seorang guru. Profesi itu sangat cocok sekali untukmu. Murid-murid pasti senang mempunyai guru sepertimu. Sama halnya seperti aku yang senang pernah menjadi seseorang yang dekat denganmu.

Sahabat, kamu masih ingat nggak awal pertemuan kita? Jujur, aku tidak ingat betul detailnya karena itu terjadi hampir 30 tahun yang lalu. Saat itu kita menjadi siswa di sebuah sekolah dasar yang sama. Aku belum terlalu mengenalmu karena kita beda kelas. Kamu kelas A, sedang aku kelas B.

Aku mulai dekat denganmu saat aku meminta pada orang tua untuk dimasukkan ke sebuah sekolah agama yang tidak terlalu jauh dari rumah. Ternyata di sekolah agama itu, aku sekelas dengan teman-teman SD kelas A, termasuk kamu. Aku mulai belajar di sekolah agama itu saat pertengahan caturwulan, maka jadilah aku anak baru di sana.

Kita selalu bersama di sekolah agama. Aku dan kamu sebangku, bermain bersama, dan jajan ke tempat yang sama. Saat itu kita tidak terpisahkan layaknya Upin dan Ipin. Yang membedakan mungkin hanya karena kita tidak botak seperti mereka.

Meskipun saat itu aku masih kecil, tetapi aku bisa merasakan bahwa aku tidak sepenuhnya diterima di lingkungan sekolah agama. Dear Sahabat, kamu pasti masih ingat kala itu cuma aku anak kelas B yang ada kelas kita. Sisanya anak kelas A dan siswa dari SD lain. Cuma kamu yang menawarkan persahabatan padaku. Ya, cuma kamu. Terima kasih banyak.

Table of Contents

A Letter for My Best Friend

Dear Sahabat, this is a letter for my best friend

Seperti yang kamu tahu kelas A dan kelas B itu tidak akur. Ada persaingan sengit di antara kita. Dan, pemicunya adalah mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. Saat itu kelas kita digabung lalu menjadi lawan dalam praktik olahraga.

Selepas mata pelajaran Penjaskes itu, hanya aku yang kena getahnya karena memang hanya aku yang sekelas dengan kalian (kelas A) di sekolah agama. Dipikir-pikir kisahku ini sama malangnya dengan Lala di sinetron Bidadari. Malangnya saja, ya, bukan cantiknya.

Saat itu aku belum terlalu mengerti, tetapi kini setelah dewasa baru aku menyadari bahwa aku merupakan korban bullying. Memang tidak secara fisik, tetapi secara verbal cukup sering.

Setelah bertanding pada jam pelajaran Penjaskes, bisa dipastikan siang harinya di sekolah agama aku dilabrak. Kalian curanglah, main kasarlah, kata-kata semacam itu yang aku terima dari kalian. (Kelas A)

Dear Sahabat, hal itu sangat tidak mengenakkan bagiku. Namun, tahukah kamu apa yang lebih menyakitkan dari itu? Ya, aku dikucilkan. Ada salah seorang di antara kalian yang menunjukkan ketidaksukaannya padaku dengan jelas. Yang lainnya tidak terlalu menampakkan, tetapi aku diasingkan, jarang diajak bicara, dan dianggap hampir tidak ada. Sangat memilukan.

Sahabat, di tengah situasi yang membingungkan bagi si kecil aku itu, cuma kamu yang menganggapku teman. Kamu tidak menjauhiku. Malah kala itu kita lengket seperti setan, eh ketan.

Bukan hanya di sekolah agama, aku ingat aku pun pernah kamu ajak bermain ke tempat kerja ayahmu. Saat itu beliau mentraktir kita minuman bersoda yang berwarna merah. Sampai kini, aku tidak bisa lupa akan kenangan manis itu.

Dear Sahabat, Masihkah Kau Menganggapku Sahabat?

Masihkah kau menganggapku sahabat?

Sahabat, jika ada yang boleh aku sesalkan, itu adalah betapa singkatnya masa-masa kamu menemaniku. Saat naik ke kelas 3 kamu pindah sekolah agama. Memang kita masih bertemu di SD, tetapi semua tidak sama lagi.

Di sekolah agama aku jadi benar-benar sendiri. Setiap menjelang pukul dua siang, hatiku terasa kosong karena harus memasuki dunia yang tak pernah menginginkan aku ada di dalamnya.

Aku tidak tahu kenapa aku tidak pernah membicarakan hal ini dengan siapa pun. Please lah saat itu aku butuh bantuan. Namun, aku memilih diam sampai bisa menyelesaikan sekolah agama empat tahun kemudian. Aku pun tidak mengerti, mengapa aku tidak keluar saja dari sana.

Makin bertambah usia, makin bertambah pula kematangan dalam diri. Aku tetap berada di lingkungan yang sama dengan para pembully-ku hingga lulus SMA. Aku tidak tahu bagaimana awalnya, tetapi hubunganku dengan mereka telah berubah.

Tidak ada lagi bullying. Namun, enam tahun hidup dalam pengucilan, cukup membuatku menjadi pribadi yang sering merasa insecure.

Dear Sahabat, semuanya telah menjadi masa lalu. Namun, selamanya aku berterima kasih untuk ketulusanmu. Meskipun kini, aku telah menjadi orang asing bagimu, tetapi di hatiku kamu tetap menempati tempat istimewa. Terima kasih sahabat masa kecilku.

With love

Your old friend

Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI.

22 pemikiran pada “Dear Sahabat”

  1. Ini mengingatkan aku waktu SD. Aku pernah dikucilkan gak diajak main sama temen2 cewek di kelas.
    Gak enak pasti rasanya. Tapi gak ngerti juga kenapa aku bisa setangguh itu melewati masa2 gak enak itu.

    Balas
  2. Ya ampun baca ceritanya bikin nostalgia inget waktu kecil sekolah agama juga. Aku bisa merasakan sama kaya teh Monic, tapi nggak sampai di bully. Aku SD jauh dari rumah, sementara teman mainku SD-nya yang di dekat rumah. Jadi aku sendirian kalau main yang beda SD. Tapi, nggak ada perbedaan di antara kami.

    Aku bisa bayangkan gimana rasanya dikucilkan gitu, pasti nggak enak banget makanya inget sampai sekarang ya. Semoga bisa berjumpa lagi dengan sahabat lamanya teh dan nggak asing lagi.

    Balas
  3. Dulu saat kuliah saya masih mengirim surat ke teman SMA, sampai awal-awal menikah. Surat ini mengingatkan padanya. Padahal kami tak seberapa dekat, kebetulan ketemu saat acara kampus (beda kota). Tapi cerita bullying mengingatkan pada anak mbarep yang sering dipalak temannya. Setelah tanya latar belakangnya, saya siapin uang/bekal lebih untuk diberikan. Mereka jadi bestie sampai sekarang (dari SD kelas 1 sampai keduanya sudah masuk dunia kerja).
    Beberapa bully sebenarnya hanya konflik yang tak selesai. Dan berkonflik itu salah satu kebutuhan untuk berkembang. Makanya saya tidak gampang memasukkan perlakuan buruk anak ke bully.

    Balas
  4. Waktu masih sekolah SD teman2 sering saling ejek mengejek dengan nama masing2 orang tua kita. Tetapi hal itu hanya berlangsung sebentar, dan setelah kami lulus dan satu sekolah di SMP kami masih berteman baik. Bahkan hingga kini beberapa teman SD dan SMP masih berkomunikasi dengan baik, dan bila ketemu kita saling bercerita nostalgia masa kecil.

    Balas
  5. Duh jadi ingat teman masa kecil yang mungkin sudah puluhan tahun ngak berjumpa, punya teman bagi saya dulu adalah anugerah soalnya kondisi orangtua karena pekerjaan yang berpindah-pindah membuat saya sulit punya teman apalagi sahabat, apalagi saya termasuk introvert, meskipun punya sedikit teman tapi pernah tinggal di beberapa kota membuat pengetahuan saya tentang betapa luasnya Indonesia menjadi pengalaman berharga dan tak terlupakan.

    Balas
  6. Jadi teringat sama sahabat waktu SD. Sekarang sudah nggak pernah kontak lagi. Dulu pun aku sama, seperti tidak ada yang mau berteman hanya sahabatku aja yang menerima aku. Ah, kalo ingat masa kecil jadi kangen.

    Balas
  7. Dulu waktu SD aku pernah dibully. Teman2 cewek sekelas gak ada yg mau temenan sama aku karena dipengaruhi 2 atau 3 anak gitu aku lupa. Jaman kecil dulu sudah ada genk2 gitu. Tapi gak ngerti juga kenapa aku cuek banget waktu itu, pikirku gak mau temenan ya udah hehehe

    Balas

Tinggalkan komentar