Kampus Universitas Indonesia tidak pernah sekalipun hadir menjadi mimpiku, sekalipun itu mimpi paling liar. Aku yang dulu menganggap diri ini lebih pintar daripada ketiga adik, hanya bisa diam merenung di pojokan saat mengetahui si adik bungsu berhasil masuk UI di tahun 2021.
Bagi sebagian orang mungkin UI itu bukan merupakan sesuatu yang istimewa. Namun, bagiku ia adalah semacam angin segar di tengah gersangnya kehidupan. Meskipun bukan aku yang kuliah di sana, tetapi berhasilnya adikku melenggang ke universitas nomor satu di Indonesia itu melimpahiku dengan pemahaman-pemahaman baru.
Aku tak kan pernah lupa pada hari ketika adik nomor dua memberitahu lewat aplikasi chat bahwa si bungsu lulus masuk UI lewat jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Nasional (SBMPTN), yang kini berubah nama menjadi Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT).
Bagi aku pribadi, mau namanya diganti sampai seribu kali pun yang nyangkut di otak itu tetap Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Yah, jadi ketahuan tamat sekolah menengah atas sekitaran tahun berapa.
Adik nomor dua memang punya ikatan spesial dengan adik bungsu. Bukan karena tidak dekat dengan saudara yang lain, termasuk aku. Namun, ada suatu penghubung yang hanya mereka berdua miliki. Kisah keduanya menginspirasiku untuk menulis cerpen “Di Kehidupan Berikutnya Kuingin Kuliah di UI“.
Setelah adik nomor dua mengabarkan berita gembira itu, datanglah si pemeran utama menghampiriku. Dia bilang, “Teteh sudah tahu?” Aku hanya sanggup mengangguk karena dia tiba-tiba memelukku lalu menangis.
Aku tahu itu adalah tangisan bahagia, tetapi dalam padanya ada juga rasa lega karena bisa membuktikan bahwa dia tidak pernah main-main dengan mimpinya. Mengingat setahun sebelumnya ada atmosfer ketegangan tercipta karena komunikasi tidak berjalan terlalu baik.
Masuknya adik bungsu ke kampus Universitas Indonesia menjadi standar baru bagi keluarga kami. Tidak hanya keluarga inti, bahkan keluarga besar. Dia menjadi yang pertama. Kalau mengambil istilah yang melekat pada BTS (Bangtan Sonyeondan), he paved the way.
Kampus Universitas Indonesia
Melansir dari Wikipedia, Universitas Indonesia merupakan universitas tertua di Indonesia. Cikal bakal UI berdiri pada 2 Januari 1849 sebagai Dokter-Djawa School Batavia. Lalu pada 2 Februari 1950 sebagai Universiteit Indonesia. Kemudian pada 11 Juli 1955-lah resmi menjadi Universitas Indonesia.
Kampus utama UI terletak di dua lokasi, yakni Depok dan Salemba. Di Salemba ada Jurusan Kedokteran dan kelas pasca sarjana. Selebihnya, menempati satu per tiga hutan kota di Depok yang berbatasan dengan Jakarta Selatan. Adikku pun berkuliah di sana karena mengambil Jurusan Ilmu Ekonomi.
Di website resminya, UI menyebutkan bahwa luas hutan kota tersebut mencapai 90 Ha dan terdiri dari vegetasi pepohonan yang beragam. Terdapat juga enam danau besar yang akronim dari tiap namanya membentuk kata KAMPUS, yaitu K(enanga), A(ghatis), M(ahoni), P (uspa), U(Lin), S(alam).
Selain untuk kegiatan perkuliahan, taman kota UI pun menjadi destinasi wisata hijau bagi warga sekitar. Tidak hanya jalan santai, kita pun bisa bersepeda di trek khusus yang terletak di hutan depan Fakultas Teknik.
Kampus Universitas Indonesia Tidak Pernah Terlalu Tinggi untuk Digapai
Saya teringat salah satu bagian cerita dari Novel Laskar Pelangi. Diceritakan SD Laskar Pelangi berhadapan dengan SD PN Timah dalam lomba cerdas cermat dan lomba kreativitas.
Kondisi kedua sekolah bak bumi dan langit. Keadaan yang melekat pada mereka secara tidak sadar menentukan spektrum mimpi. Yang kaya bermimpi setinggi langit, yang miskin menyimpan mimpi di kerak bumi.
Pilot, dokter, astronaut, dan cita-cita keren lainnya hanya menjadi mimpi anak-anak PN TImah. Sedangkan anak Laskar Pelangi hanya mampu bermimpi menjadi kuli timah, seperti orang tua mereka. Keadaan ini seolah membatasi ruang imajinasi, padahal untuk bermimpi itu gratis.
Hal inilah yang persis saya rasakan. Masa-masa SMA adalah masa sulit bagi keluarga kami. Saya merasa terlalu takut untuk bermimpi. Sehingga saya bermain aman, cukup puas berada di zona nyaman. Hingga kemudian adik saya diterima di UI. Kok bisa?
Dengan latar belakang keluarga yang sama, dia mampu mencatatkan namanya di universitas terbaik di negeri ini. Tentu kapasitas otakku dan dia berbeda, juga keadaan keluarga kami kini sudah lebih stabil. Selain itu, belum tentu juga kalau aku dulu mendaftar ke UI serta merta pasti diterima juga.
Bukan, bukan itu yang aku garis bawahi. Namun, keberanian adik bungsu untuk mengejar mimpinya. Dia mendobrak segala palang kemustahilan yang membelenggu pikiran. Aku merasa menjadi anak-anak Laskar Pelangi yang tidak berani bermimpi, tetapi adikku dengan perkasa menjadi Arai, Sang Pemimpi.
Aku baru menyadari kesalahan berpikir zaman itu yang menganggap tidak perlu bermimpi karena memiliki banyak keterbatasan. Sekarang pemahaman itu datang, justru dengan mimpilah, kita mempunyai peluang untuk mengentaskan keterbatasan tersebut.
Arai, masih dalam serial Laskar Pelangi, pernah berkata pada Ikal. ‘Biar kau tahu, Kal, orang seperti kita tak punya apa-apa kecuali semangat dan mimpi-mimpi. Kita akan bertempur habis-habisan demi mimpi-mimpi itu. Tanpa mimpi, orang seperti kita akan mati.’
Setiap dari kita harusnya berpikir UI tidak pernah terlalu tinggi. Siapa pun berhak menjadikannya impian yang menjadi bara dalam menjalani kehidupan. Terutama bagi mereka yang sedang berjuang untuk menyulam jalan hidup yang lebih baik.
Bermimpi, Bangun, dan Wujudkanlah
Setelah kita memiliki impian tidak lantas semuanya berakhir. Tentu perlu usaha, doa, air mata, dan pengorbanan yang harus kita tukarkan. Dalam kasus adik bungsu pun, proses meraih mimpi itu berlangsung alot dan cukup menegangkan.
Stres tingkat tinggi yang dia rasakan serta komunikasi yang terjalin kurang lancar menjadikan masa satu tahun sebelum dia kuliah terasa begitu panjang. Namun, setelah semua terlewati, kini senyumnya kembali mengembang dan sikapnya mulai menghangat.
Dari pengamatan dan obrolan panjang dengan adik bungsu ada beberapa hal yang kupikir menjadi wasilahnya dalam meraih mimpi. Tentu semua terjadi atas kehendak Allah, tetapi ada usaha kerasa yang dia lakoni.
Menentukan Gaya Belajar
Belajar semalaman suntuk berhari-hari tidak menjamin apa yang kita pelajari akan nempel di kapala. Selain itu, setiap orang memiliki gaya pembelajaran efektif yang berbeda-beda. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui gaya belajar seperti apa yang cocok.
Ini pun yang adik bungsu lakukan. Dia menonton kanal-kanal Youtube anak muda yang fokus ngonten tentang pendidikan. Setelah itu, baru dia memilih dan mempraktikannya.
Latihan Soal SNBT
Saya takjub saat mengetahui bahwa adik mempelajari soal SNBT selama satu tahun. Namun, kata dia di kota-kota besar, para murid telah mempelajarinya sejak masuk SMA. Jadi kalau tidak bersungguh-sungguh, jangan harap bisa bersaing dengan mereka yang memiliki persiapan matang.
Bahkan dia sampai merelakan peringkat satu demi fokus pada persiapan masuk PTN. Ini memang berisiko, tetapi katanya terlalu berat jika harus memperjuangkan keduanya.
Jadi, dia lebih memilih lulus dengan nilai seadanya. Inilah yang menjadikan adanya sedikit ketegangan karena membuat orang tua khawatir dan kurang dikomunikasikan dengan baik.
Merilekskan Pikiran
Selama persiapan itu adikku bukan tipe yang terus-terusan belajar. Dia tetap menikmati hidup layaknya remaja seusianya. Sepintas malah tampak seperti “anak nakal” yang kerap nongkrong sampai malam.
Akan tetapi, aku tahu dia sedang berusaha mengendurkan otot yang menegang. Aku tidak membenarkan tindakannya, tetapi aku setuju hidup itu memang harus seimbang. Mungkin kita bisa arahkan hiburannya ke hal yang lebih positif menurut pandangan masing-masing.
Menguasai Bahasa Inggris
Bahasa Inggris sudah menjadi bahasa yang wajib kita kuasai. Adikku sudah lumayan mahir, skor IELTS-nya 7. Sudah bisa sekolah ke luar negeri, ya, kalau skornya cukup tinggi seperti itu. Sebagai gen Z, dia mendapatkan keterampilan berbahasa tersebut dari tontonan.
Kemampuan itu dibutuhkan di perkuliahan. Meskipun tidak mengambil kelas internasional, tetapi ada beberapa mata kuliah yang full menggunakan bahasa Inggris.
Bahkan ada yang bilang bahwa buta huruf di zaman sekarang itu saat kamu tidak bisa berbahasa Inggris dan tidak bisa mengoperasikan komputer. So, jangan remehkan lagi pentingnya bahasa Inggris, ya.
Aktif Berorganisasi
Meski lelah belajar, adikku masih mengalokasikan tenaga dan pikirannya untuk berorganisasi. Sejak SMA, dia sudah aktif menjadi panitia di berbagai acara. Setelah kuliah pun dia berhasil menjadi ketua Badan Perwakilan Mahasiswa dari Jurusan Ilmu Ekonomi.
Dengan berorganisasi, kita bisa mengasah kepemimpinan dan memperluas jaringan. Hal tersebut belum tentu kita dapatkan dengan hanya duduk dan belajar di kelas.
Penutup “Kampus Universitas Indonesia”
Adik-Adikku, jangan pernah takut bermimpi untuk kuliah ditempat yang kalian inginkan. Tidak perlu memusingkan biaya karena ada banyak beasiswa yang bisa diusahakan. Misal lulus SNBT, kalian berkesempatan tidak membayar UKT asal kriteria kondisi finansial orang tua memenuhi syarat.
Fokuslah belajar agar bisa masuk kuliah impian. Tidak perlu di kampus Universitas Indonesia di mana pun mimpi kalian berada, ke sana lah upaya dan doa diarahkan. Semoga kisah dariku ini bermanfaat. Ambil yang baiknya, buang yang buruknya, ya, Playmates.
Pernah suatu hari di WAG tersampaikan ucapan selamat untuk beberapa alumni kampus kecil kami yang lulus ke UI. Dia adalah orang-orang biasa yang prestasi akademiknya nggak mentereng, tapi hidupnya mulus saja. Kata temanku, “nasibnya bagus amat. Pintar sih kagak.” Namun saya melihatnya berbeda. Mereka yang biasa saja itu berani bermimpi, bukan malah mengukur kekurangannya.
Jadi ingat dulu pernah bermimpi setelah lulus kuliah, ingin kuliah lagi. Sering kali benar, impian yang didukung ikhtiar akan Allah bantu wujudkan. Terkadang hanya perkara waktu. Jadi, jangan takut bermimpi, juga jangan lelah berikhtiar dan berdoa