Di Kehidupan Berikutnya Kuingin Kuliah di UI

Pendaran cahaya itu bersinergi menjadi rona yang tak asing,

berputar-putar tanpa mengenal pusing.

Di dalam relung ada yang selalu bising,

Sebuah jaket impian berwarna kuning.

***

Derap langkah di kejauhan makin lama makin terdengar nyaring. Meskipun merasakan kepalanya pening, pemuda kekar itu terus menggapai sebuah jaket kuning. Seiring suara derit pintu yang dibuka dari luar, jaket itu pun menghilang tak terkejar.

“Sa, Angkasa, bangun!”

Suara panggilan itu tidak terlalu kencang, tetapi langsung membuat Angkasa bangkit terduduk. Dengan linglung, pemuda itu memalingkan wajah ke kanan dan ke kiri. Tangannya menjulur ke atas mencoba menggapai sesuatu.

Beberapa pemuda lain yang menyaksikan pemandangan itu saling berpandangan. “Kamu cari apa, Sa? Ngelindur, ya? Ayo, bangun, keburu si bos datang.”

Kesadaran Angkasa hampir paripurna, dia mulai menyadari jaket kuning itu tak pernah ada. Semilir getir menyerbu, menyisakan awan kelabu. Perasaan kerdil yang selama ini menyertai, kembali menguasai diri.

Angkasa tidak ingin menjadi manusia yang tidak pandai bersyukur. Namun, kenyataan bahwa dirinya kini sedang berada di atas dipan di sebuah bedeng terlalu minor jika dibandingkan dengan mimpinya barusan.

Mimpi jaket kuning bukanlah mimpi dalam satu malam. Mimpi itu telah menemaninya semenjak masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Berawal dari para mahasiswa UI yang KKN di kampungnya, hingga kini jaket kuning mereka tidak pernah lepas dari benak Angkasa.

Rekan-rekan sesama kulinya tidak menunggu jawaban pemuda yang masih bengong tersebut. Mereka langsung bersiap untuk kembali bekerja, meneruskan membangun sebuah perumahan subsidi. Mereka punya banyak pekerjaan daripada sekadar menunggui seseorang yang masih mengumpulkan nyawa setelah sebelumnya lembur.

Angkasa menggeleng-gelengkan kepala dengan kuat, mencoba mengusir segala perasaan yang berkarat. Pemuda itu memaksakan diri untuk bangkit, dia pun masih punya urusan lebih penting yang harus diselesaikan. Tahun ini adiknya lulus SMA. Dia harus punya tabungan untuk biaya kuliah Langit.

Lantas bagaimana dengan kuliah dirinya sendiri? Ah, sepertinya dia harus melupakan mimpi itu. Mungkin di kehidupan berikutnya, dia baru bisa kuliah di UI.

***

di-kehidupan-berikutnya-kuingin-kuliah-di-ui

Angkasa mengambil langkah-langkah besar menuju kontrakan di dalam gang sempit. Sudah lima tahun ini dia dan adiknya tinggal berdua di sana. Orang tua mereka telah meninggal dalam sebuah kecelakaan. Sejak saat itu, sang pemuda berhenti sekolah dan banting tulang agar adiknya tidak merasa kekurangan.

Kulit coklatnya mengilat karena matahari terus membuatnya berkeringat. Tangan pemuda itu mengepal dan napasnya memburu satu-satu. Kecurigaan Angkasa selama ini tiba-tiba mewujud. Dia tidak habis pikir, bagaimana mungkin Langit yang selama ini dia urus begitu tega mengecewakannya.

Tetangga kiri-kanan kontrakan telah beberapa kali membisikinya. Mereka bilang sang adik kerap pulang larut malam tatkala dirinya lembur dan tidur di bedeng. Angkasa yang merasa sangat mengenal si adik kesayangan tidak punya prasangka negatif akan hal itu.

Dia menganggap adiknya yang beranjak remaja sedang menikmati masa muda. Selama tidak mengganggu pelajaran, Angkasa pikir itu tidak masalah. Bahkan, saat dia menemukan hasil ulangan Langit secara tidak sengaja, dia masih bisa berpikir positif. Padahal nilainya tujuh, cukup jauh dari nilai biasanya, yakni sepuluh.

Angkasa langsung menyimpulkan pasti nilai tujuh itu hanya satu pelajaran. Kini dia jadi curiga, jangan-jangan semua nilai ulangan adiknya memang segitu, atau justru lebih parah dari itu. Dadanya semakin sesak menahan amarah. Pemuda itu mempercepat langkah. Entah mengapa gang menuju kontrakan terasa lebih panjang dari biasanya.

Tanpa mengucapkan salam, Angkasa membuka pintu. Dia langsung menuju kamar sang adik dan masuk ke dalamnya dengan kasar. Langit yang sedang duduk di kursi dekat meja belajar kaget. Namun, sedetik kemudian, dia tersenyum manis menyambut sang kakak yang dirindukan. Sudah beberapa hari mereka tidak bertemu karena Angkasa lembur sehingga tidak pulang ke kontrakan.

“Sudah pulang, Kak?” sapa Langit dengan senyum yang masih mengembang.

Angkasa tidak menjawab. Selama ini, pemuda itu tidak pernah marah pada Langit. Dia jadi bingung sendiri bagaimana seharusnya mengekspresikan kekecewaan pertama yang mendalam itu.

“Tadi malam kamu pulang jam berapa?” bentak Angkasa. Senyum langit seketika memudar, sang kakak pun kaget sendiri dengan bentakannya.

“Jam setengah satu,” jawab Langit acuh tak acuh. Remaja itu kembali mengerjakan apa yang tadi sedang dikerjakan. Angkasa dapat menangkap sekilas kilat kesedihan di matanya.

Sang kakak merasa bersalah, tetapi dia menegarkan diri untuk lanjut menegur adiknya.

“Dari mana?” cecar Angkasa. Langit menoleh, dia langsung menatap mata Angkasa.

“Kenapa emangnya?”

“Berani, ya, kamu?”

“Lagian Kakak nggak jelas banget, datang-datang langsung marah.”

“Ya, nggak marah gimana? Kakak jadi kuli, banting tulang kerja seharian. Kamu malah enak-enakan nongkrong sampai malam, buang-buang duit.”

“Oh, jadi ini soal duit. Kakak nggak ikhlas ngebiayain aku?” Kini Langit berdiri, menantang Angkasa.

Angkasa goyah. Dia mulai berpikir yang dilakukannya salah. Bukan begini caranya menegur anak remaja. Hanya berbekal omongan orang yang melihat adiknya tadi malam nongkrong di sebuah kafe, dia langsung marah, tanpa mendengar dahulu penjelasan Langit. Apalagi Angkasa tahu, walaupun Langit tergolong anak yang tidak neko-neko, adiknya itu kerap jengah kalau ada yang menasihatinya, sekalipun itu Ibu.

Saat Angkasa masih sibuk dengan pikirannya sendiri, Langit menabrak bahunya dan keluar rumah dengan membanting pintu. Pemuda itu ingin mengejar, tetapi kakinya tak bergerak satu senti pun.

***

Sejak kejadian itu, adik-kakak tersebut tidak bertegur sapa. Angkasa lebih sering memilih lembur. Dia bingung bagaimana memulai pembicaraan. Pemuda itu ingin menjelaskan bahwa dirinya hanya khawatir dengan masa depan sang adik.

Angkasa takut Langit akan bernasib sama dengannya. Langit harus rajin belajar agar bisa melanjutkan kuliah di kampus yang bagus. Kabar bahwa sang adik kerap pulang malam dan nilainya yang menurun membuat Angkasa cemas, apalagi ujian masuk universitas tinggal menghitung hari.

Setiap berpapasan dengan sang adik, Angkasa berniat mengajaknya bicara dari hati ke hati. Namun, melihat air muka Langit yang tidak bersahabat, dia kembali mengurungkan maksudnya.

Beberapa hari kemudian, sang kakak menemukan kertas ulangan yang lagi-lagi nilainya pas-pasan. Bahkan tidak hanya satu, semua nilainya serupa. Hal ini tentu membuat kecemasan Angkasa makin menyiksa.

***

Angkasa menghirup aroma kopi yang baru saja diseduh. Meskipun hanya kopi instan murah, wangi biji kopi itu menenangkannya. Dia mendengkus saat seorang rekan memberitahu ada seseorang yang mencarinya. Mengganggu saja, gerutunya.

Sambil berjalan, dia menebak-nebak siapa gerangan orang yang menyela kenikmatannya saat bercengkrama dengan aroma kopi. Tanpa aba-aba seseorang memeluk tubuhnya yang berbalut baju kotor.

“Langit,” lirihnya

Sang adik tidak segera melepaskan pelukan. Malah samar-samar Angkasa mendengar isakan. Langit menangis? Pikiran buruk langsung menyergap benak Angkasa. Dia mulai mereka-reka skenario perihal apa yang sebenarnya terjadi. Hal yang paling masuk akal baginya adalah Langit gagal masuk perguruan tinggi negeri.

Setelah mengusap mata, Langit melonggarkan pelukan dan perlahan mundur. Dia mengeluarkan ponsel, membuka entah apa, lalu menyerahkannya pada Angkasa.

“UI?” teriaknya. Angkasa tidak peduli dirinya yang menjadi tontonan karena berteriak-teriak kesetanan. Dia tidak keberatan dianggap tidak waras, yang penting semua orang harus tahu adiknya berhasil masuk kampus impian, impian dirinya yang entah sejak kapan menjadi obsesi sang adik.

***

Angkasa duduk di dekat meja belajar Langit. Dia ingin melihat sendiri apa yang telah diceritakan adiknya perihal cara belajarnya selama ini. Pemuda itu mengutuk dirinya sendiri yang kurang memperhatikan bahwa selama ini Langit begitu keras belajar untuk persiapan masuk perguruan tinggi negeri. Berbagai buku panduan masuk PTN berderet di rak dinding.

Pemuda itu merasa menjadi manusia purba saat sang adik bercerita tentang gaya belajarnya selama ini. Sebelum belajar, dia mencari tahu gaya belajar apa yang cocok dengan dirinya. Setelah itu, dia memutuskan untuk fokus pada ujian masuk PTN. Adiknya tidak menampik sekali-kali dia memang nongkrong untuk melepas penat.

Pilihan itu membuat dia mengorbankan rangking 1 yang dari sekolah dasar menjadi miliknya. Langit merasa tidak akan mampu jika harus berjuang untuk keduanya. Jadi, dia merelakan nilai sekolahnya pas-pasan asal cukup untuk lulus demi memperjuangkan impian yang lebih besar.

Angkasa membuka dompet Langit. Di sana ada secarik kertas tulisan tangan dirinya tentang cita-cita masuk UI. Tadinya tulisan itu dia tempel di dinding kamar, entah kapan mulai berpindah ke dompet sang adik.

Dia tidak pernah memaksa Langit untuk melanjutkan keinginannya masuk UI. Namun, ternyata sang adik telah memutuskan untuk menjadi kehidupan berikutnya bagi sang kakak dengan mewujudkan mimpinya untuk kuliah di UI.

21 pemikiran pada “Di Kehidupan Berikutnya Kuingin Kuliah di UI”

  1. Plot twist banget kirain keluar malem jadi orang nggak bener ternyata merubah gaya belajar, haha. Selamat yaa Langit udah masuk UI jadi kebanggaan kakaknya. Haru banget dan unik nama tokohnya 😍

    Balas
  2. sebagai kakak, kadang tarik ulurnya juga tidak mudah ya, layaknya orang tua. Apalagi sudah punya cita-cita bisa kuliah ke UI. Saya jadi belajar dari cerita ini, jangan termakan omongan orang. Dan gimana cara bikin nyaman adik biar dia bisa terbuka sama kakak. Jadi keingat adikku yang sedang nyari tempat kuliah. Tapi, bukan di UI

    Balas
  3. Ya Allah, jadi terharu bacanya. Bahagia, bangga, syukur pasti menjadi satu dalam hati Angkasa. Bukan hanya kerja kerasnya yang tidak sia-sia tapi juga impiannya terwujudkan oleh sang adik.

    Seru sekali baca ceritanya. Terima kasih.

    Balas
  4. MEngaduk perasaan sejak paragraf awal. Sampe ada rasa de javu merasakan perasaan ANgkasa yang sering dihantui mimpi yang sama pada sebuah cita-cita. Eh tapi bukan tentang perjuangan ingin masuk suatu kampus, tapi jenis perjuangan yang lain. Mbak Monica pinter ya mengemas kata dalam cerita, pesannya dalem banget tapi disajikan dengan mengalir

    Balas
  5. Keren banget kisahnya, runut dan sungguh plot twist, pantas terpilih dari salah satu cerpen untuk antalogi. Tapi emang teh monica mah kalau bikin cerita emang juara, jam terbang jg udah tinggi

    Balas

Tinggalkan komentar