Sudah menjadi rahasia umum bahwa orang Sunda mayoritas merupakan pribadi yang tidak terlalu gemar merantau. Apalagi kalau dibandingkan dengan tetangga terdekat, suku Jawa, atau suku luar pulau semacam Padang. Saya sebagai Sunda tulen pun mengakui hal tersebut.
Adik-adik saya perantau, tetapi jarak rantaunya dekat dan masih berada di tataran Pasundan. Frekuensi mudiknya pun bisa dikatakan sering. Berbeda dengan para perantau ulung yang pulang kampungnya bisa beberapa bulan sekali, bahkan bertahun-tahun tak kembali. Konon, mereka pantang pulang sebelum menjadi orang sukses.
Budaya merantau ini memiliki dampak positif berupa pembentukan karakter yang tangguh dan tahan banting. Bagaimana tidak, jauh dari sanak saudara tersayang dan kampung tercinta akan memaksa kita untuk sepenuhnya mengandalkan diri sendiri dan juga seringkali menyeret kita untuk keluar dari zona nyaman.
Lantas mengapa Sunda dan merantau tidak terlalu padu? Melansir dari ayobandung.com, orang Sunda enggan merantau karena kami terlahir di bumi Parahyangan, negeri Dewata. Pegunungan memagari wilayah ini dengan kokoh, sehingga tanahnya subur dan menyediakan hasil bumi yang melimpah.
Bagi kalian yang kerap wara-wiri di daerah Bandung pasti sudah tidak asing lagi dengan sebuah ungkapan dari Martinus Anthonius Weselinus Brouwer, seorang rohaniawan, psikolog, dan dosen asal Negeri Kincir Angin.
Bumi Pasundan Lahir Ketika Tuhan Sedang Tersenyum
Begitulah bunyi ungkapan tersebut. Kata-kata indah tersebut tersemat pada sebuah dinding di Jalan Asia-Afrika, Bandung. Ini menunjukkan keindahan Jawa Barat juga memukau kalangan orang luar, tidak hanya sebagai akuan warga lokal.
Selain itu, lokasi Jawa Barat yang dekat dengan ibu kota negara memberikan keuntungan berupa fasilitas dan kemudahan, contohnya perihal transportasi dan lapangan pekerjaan. Sehingga, tuntutan untuk mencari penghidupan yang lebih baik di luar pulau Jawa tidak terlalu tinggi.
Keadaan-keadaan di atas berdampak pada watak orang Sunda yang tidak terlalu ambisius dalam mengejar sesuatu. Menurut kalian bagaimana, Playmates? Setuju tidak?
Kampung Cukur, Sebuah Anomali di Bumi Pasundan yang Subur
Danau terbesar di Garut itu bersedekap tanpa pasang surut. Di setiap tetes airnya, legenda seorang wanita kikir selalu turut. Menambah daya magis yang tidak pernah kehilangan denyut.
Beberapa tahun ini, Situ Bagendit hadir dengan wajah baru setelah tindakan revitalisasi yang memakan waktu sekitar dua tahun. Danau itu kini jauh lebih tertata dan indah dari sebelumnya.
Jika mengunjunginya, kalian akan mendapati sebuah monumen berdiri, yakni Monumen Seni Cukur Asli Garut. Monumen tersebut menuliskan bahwa tradisi seni cukur di Banyuresmi-Garut telah dimulai sejak zaman Hindia Belanda.
Tersebutlah Bapa Idi sebagai seniman cukur pertama pada tahun 1818, Bapa Indi pada tahun 1924, Bapa Idrus pada tahun 1937, dan Bapa Lyod pada 1946. Mereka menjadi pelopor turun temurunnya profesi tersebut. Bantarjati-Bagendit menjadi kampung yang kali pertama merintisnya.
Monumen tersebut menyebutkan pula Garut sebagai gudang seniman cukur. Warga yang memilih profesi tersebut telah menyebar ke luar kota Garut, bahkan ke luar pulau Jawa. Tentu ini menjadi anomali di tengah karakter orang Sunda yang enggan merantau.
Saya mengenal lebih dekat tradisi tersebut, setelah menikah dengan lelaki asal Banyuresmi. Dia pun bergelut dalam bidang tersebut dengan membuka usaha pangkas rambut di daerah Bekasi.
Suami saya hanya satu dari sekian banyak yang meneruskan estafet keahlian cukur. Hampir semua lelaki di kampungnya merantau, mayoritas sebaran adalah di daerah Jabodetabek. Ada yang buku usaha sendiri, ikut orang lain, atau kerja di barbershop.
Jauh dari keluarga menyebabkan para pejuang rupiah ini tidak bisa serta merta memberikan nafkah karena terpisah jarak. Zaman saya kecil, kalau hendak mengirim uang itu mesti lewat Wesel Pos yang baru sampai dalam beberapa hari.
Di era serba digital seperti sekarang, transaksi keuangan pun semakin mudah dilakukan. Namun, ada pihak-pihak yang belum memaksimalkan kebermanfaatannya, sehingga kehadiran jaringan agen layanan keuangan digital masih menjadi upaya manjur di beberapa daerah.
Agen Layanan Keuangan Digital
Jika hanya melihat pada diri sendiri, menggenggam ponsel berarti menggenggam dunia. Entah kapan terakhir kali saya berbelanja ke toko offline karena kini saya membeli apa pun di online shop.
Tidak sebatas belanja, bayar listrik, bayar PDAM, beli pulsa, dan lain sebagainya pun cukup menggunakan smartphone. Selama saldo di mobile banking aman, semua bisa diatasi. Literally, dunia dalam genggaman.
Akan tetapi, ternyata masih banyak orang yang belum terlalu akrab dengan transaksi dan digitalisasi perbankan. Sehingga kehadiran agen sebagai pihak ketiga masih sebagian masyarakat butuhkan, terutama bagi para lanjut usia dan orang yang belum bisa atau mau mengoptimalkan fasilitas yang disediakan.
Begitu pun di kampung suami saya yang sebagian besar warganya berprofesi sebagai tukang cukur di rantau. keberadaan agen layanan keuangan digital masih menjadi magnet.
Sabtu Minggu menjadi puncak ramainya tempat cukur dan Senin keramaian tersebut pindah ke agen. Wajah-wajah semringah memenuhi antrean karena transferan dari rantau telah diterima.
BRI, Brilian dalam Memberikan Kemudahan
Sejalan dengan namanya, Bank Rakyat Indonesia menjadi bank yang dapat rakyat Indonesia dari kalangan manapun jangkau. BRI hadir secara fisik di berbagai pelosok nusantara meski “hanya” dalam bentuk bangunan sederhana. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika BRI begitu lekat dengan masyarakat.
Warga yang tinggal di pedalaman tidak harus pergi ke pusat kota untuk sekadar setor atau tarik tunai. Ada BRI yang telah menyatu dalam denyut perekonomian masyarakat. Walau ada segelintir orang yang bersuara perihal belum maksimalnya pelayanan, BRI berkomitmen untuk terus memperbaikinya.
Seiring kemajuan teknologi, mesin ATM hadir untuk semakin memberi kemudahan. Untuk setor dan tarik tunai, kita tidak lagi harus mendatangi kantor cabang. Melansir dari bri.co.id berdasarkan data per Desember terdapat 20.000 mesin ATM BRI yang bisa masyarakat manfaatkan.
Jumlah mesin tersebut tersebar di seluruh Indonesia. Kita tidak hanya bisa menemukannya di Kantor Unit Kerja BRI, tetapi juga di mall, bandara, stasiun, tempat wisata, ataupun pertokoan.
Misal tidak menemukan ATM BRI, kita tetap bisa bertransaksi di ATM lain karena ATM BRI terkoneksi dengan 58.000 Jaringan ATM Link, 76.000 Jaringan ATM Bersama, 96.000 jaringan ATM PRIMA, 100.000 jaringan Alto, serta beberapa jaringan internasional. Sebaliknya, ATM BRI pun bisa digunakan oleh pengguna bank lain yang bekerja sama.
Teknologi yang terus melesat semakin memanjakan nasabah. Kini untuk bertransaksi, kita tidak perlu keluar rumah, tinggal download Brimo atau menggunakan internet banking.
Bagi yang merasa gaptek, tidak perlu khawatir karena BRI menghadirkan BRILink, agen layanan keuangan digital. Semua pelayanan brilian ini tidak lain demi memberikan kemudahan bagi masyarakat.
BRILink, Cemerlang Melihat Peluang
Tiap kali saya lewat ke sebuah toko sembako besar yang terletak di kampung suami di Banyuresmi-Garut, orang-orang berjubel memadati tempat itu. Toko retail merah di seberangnya pun tampak tidak berdaya menghadapi kedigdayaannya.
Selain sembako, toko itu menyediakan tempat bermain anak dan menjadi agen layanan keuangan digital, BRILink. Bahkan pemilik toko tersebut telah mendapatkan hadiah mobil dan paket liburan dari BRI berkat performanya yang baik.
Banyaknya yang memanfaatkan layanan agen tersebut salah satunya karena mayoritas penduduk sekitar yang merantau sebagai seniman cukur. Ada beberapa pertimbangan mengapa orang lebih memilih bertransaksi melalui agen daripada melakukannya sendiri.
- Tidak Memiliki ATM, Mobile Banking, atau Internet Banking
- Merasa Gaptek, Khawatir Melakukan Kesalahan
- Bisa Tarik Tunai Tanpa Memperhatikan Kelipatan Rp. 50.000
- Lebih Dekat Dibanding Kantor Cabang Atau Mesin ATM
Sama halnya dengan M-Banking/I-Banking, di agen pun kita bisa membayar listrik, PDAM, BPJS, top up dompet digital, dan lain sebagainya. Meskipun kini banyak agen serupa dari bank lain, BRILink tetap cemerlang sebagai yang pertama melihat peluang.
Penutup “Agen Layanan Keuangan Digital”
Kehidupan selalu mempertontonkan persaingan, begitu pula perihal agen layanan keuangan digital dari berbagai bank yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. BRILink, sebagai pioneer dari bisnis agen bank tetap melaju dengan brilian dan cemerlang.
Kiprahnya berdebur di sebuah kampung cukur yang masih membutuhkan pihak ketiga dalam bertransaksi keuangan. Peluang yang ada melebur dengan pelayanan yang elok terulur. Dengan demikian, BRILink dan masyarakat sekitarnya telah menciptakan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan dan terukur.
Transaksi & Digitalisasi BRI terus berkembang mengikuti kemajuan zaman. Pada mulanya, kita menyambut sukacita mesin ATM, lalu kita tidak bisa jauh dari mobile banking, ada pula yang setia bertransaksi di agen layanan keuangan digital, BRILink. Ke depannya, mari kita nantikan segenap kemudahan yang pasti akan BRI tawarkan di masa mendatang seiring kemajuan teknologi.
Situ Bagendit ingatin aku ke novel Telaga Renjana. So far, BRI juga banyak kasih kemudahan dalam bertransaksi sih, ya.
Kehadiran BRILink ini memang memudahkan masyarakat daerah yg memang belum begitu familiar dg mobile banking dan sejenisnya.
Pembayaran dan tarik tunai juga jadi lebih mudah.
BRI memang merakyat terdapat di seluruh pelosok negeri dan kehadiran agen BRILink memudahkan transaksi perbank kan. Salut buat BRI.
Tak dapat dipungkiri jaringan yang luas masih dikuasai BRI, coba kita lihar ke pelosok yang berkibar tetaplah BRI.
Kalau disuruh merantau salah satu kota yang pengen aku pilih adalah Bandung sih. Mungkin karena vibes-nya yang menyenangkan dan adem sejuk. Sejujurnya di kota Aku sekarang nggak begitu banyak hiburan yang menarik selain wisata-wisata alam. Apalagi kan sekarang udah era digital kalau mau komunikasi saat merantau gawe udah sangat mendukung.
Wah aku jadi tahu sejarah cukur ternyata masuk ke dalam seni ya, hehe. Ada monumennya juga. Pantes aja emang skill cukur itu terbaik dari Garut.
Adanya agen BRI link ini memudahkan banget ya apalagi yang jauh dari perkotaan. Nggak harus ngambil uang ke ATM, biasanya orang tua kesulitan cara mengambil uang di ATM. Di daerah rumahku juga banyak agen BRI, tetangga juga sering ngambil uang di agen BRI karena suaminya yang merantau.
Betul banget, BRI sesuai namanya adalah bank rakyat yang merakyat. Banyak membantu rakyat ketika bank lain belum bisa merakyat. BRI juga terus berkembang layanannya, mengikuti era yang terus maju.
Kalau lagi mudik ke mertua kan lumayan agak jauh ke kota, jadi butuh cepat tunai atau transaksi pasti pakai bri link. Begitupun kalau mau kirim ke mertua dan cepat sampai, ya via bri link juga.
Btw, kalau tukang cukur yang enak dan memuaskan hasil versi suami, kalau dicukur sama orang garut loh teh 🤣🤣🤣. Tukang cuanki keliling juga banyak orang garut, beneran perantauan pisan ya teh orang garut mah
Jadi inget dulu ketika merantau ke Ibukota dan jarang sekali pulang. Eh sama tetangga dibilang mirip kaya orang Jawa. Padahal bener kan orang Jawa, Jawa Barat.. hehe.
Asli sih kalau di tukang cukur waktu di Jakarta selalu nebak kalau mereka dari Garut, and mostly bener sih.. akhirnya jadi pancakaki duduluran sambil ngobrol ngaler ngidul dicukurnya
Aku paling merasakan manfaatnya juga ketika ada BRI LInk di desa, karena saat ke rumah ibu, atm jauh, akhirnya selalu memanfaatkan BRI Link. Sangat membantu banget.