Senyum Terakhir Ibu – “Di sini saja dulu atuh Teteh sama anak-anak mah,” kata ibu mertuaku sambil bangkit dari bangku di warung tetangga.
“Di rumah nggak ada siapa-siapa,” jawabku sambil memakaikan sepatu berwarna cokelat ke kaki gemuk anak bungsuku.
Saat itu sudah waktunya suamiku berangkat lagi ke Bekasi untuk bekerja, jadi aku dan anak-anak kembali ke rumah orang tua. Selama suami berada di kota Garut, kami lebih sering tinggal di rumah mertua.
Sebetulnya rencana keberangkatan suami itu beberapa hari sebelumnya, tetapi si bungsu sakit sehingga rencana itu diundur. Sebelumnya pun ibu mertua sakit, beliau sempat masuk ke klinik untuk rawat jalan.
Aku meraih tangan ibu mertua, menyalaminya lalu berpamitan. Beliau meminta maaf karena tidak menyiapkan buah tangan untuk orangtuaku. Sampai kini, aku tidak mengerti mengapa selalu beliau yang lebih sering meminta maaf, padahal seharusnya akulah yang meminta maaf karena sering merepotkan.
Tak ada firasat buruk saat aku melihat beliau tersenyum sambil mengantar kepergian kami di teras rumah. Aku berlalu tanpa pernah tahu bahwa itulah senyum terakhir ibu yang kulihat.
Kejutan dalam Hidup
“Yang, mamah Aa teh sakit lagi.” Begitu bunyi pesan pendek dari suamiku yang sedang berada di Bekasi.
“Innalillahi, sejak kapan?” tanyaku.
“Semenjak pulang dari pemilihan Kades,” jawab suamiku.
Saat itu aku belum merasakan kekhawatiran berlebih karena ibu mertua sudah beberapa kali sakit, tetapi tidak lama. Kondisi si Bungsu yang baru sembuh lalu disusul si Cikal yang sakit membuatku belum bisa menengoknya.
Sampai kemudian beliau masuk klinik lagi, aku belum juga menengok. Di samping kondisi kesehatan anak-anak yang
tidak baik, saat itu merupakan puncak Covid 19. Banyak kasus kematian dan hampir di setiap rumah ada anggota keluarga yang sakit demam, batuk, pilek, sakit tenggorokan, dan hilang penciuman.
Setiap hari aku dan suami memantau keadaan ibu mertua dari jauh. Dari adik ipar, kami tahu beliau berangsur membaik sehingga dokter memperbolehkan ibu mertua dirawat di rumah.
Beberapa hari kemudian kami mendengar beliau tidak mau makan. Suami tidak punya pikiran buruk, dia pikir wajar ibu kami susah makan karena memang beliau sakit lambung.
Aku belum bersegera menengoknya, di samping kondisi anak-anak yang belum fit, kupikir toh tak lama lagi saat suami pulang kami akan menginap di rumah mertua.
Karena masih susah makan, perawat yang dipanggil ke rumah menyuntikkan cairan infusan pada ibu mertua. Tidak berselang lama, kondisi beliau membaik dan mencabut infusan. Sampai di sini aku merasa beliau akan kembali sembuh dan akan dapat beraktivitas seperti biasa.
Tiba-tiba saja mimpi buruk itu datang. Di grup chat keluarga, salah satu saudara mengabarkan kondisi terkini ibu mertua dalam sebuah foto. Aku tidak bisa memercayai apa yang kulihat.
Cerpen Senyum Terakhir Ibu
Sosok yang kulihat itu sangat jauh berbeda dari sosok yang selama ini kukenal. Pilu sekali melihat orang yang kita sayang dalam kondisi seperti itu. Saat itulah aku merasa ada kemungkinan kami akan kehilangan beliau.
Masih jelas di ingatan, kala itu adalah Sabtu sore. Suami sedang dalam perjalanan pulang dari Bekasi. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana gundahnya hati seorang anak yang melihat foto sang ibu dalam kondisi seperti itu. Tak ada yang bisa suami lakukan selain duduk di bangku bis dan terus merapal doa.
Tadinya suami diminta pulang untuk menyuapi ibu mertua karena dari hari sebelumnya tidak ada makanan yang masuk. Mengingat ibu mertua biasanya “nurut” sama suami. Anggota keluarga yang lain sudah mencoba membujuk, tetapi beliau tetap tidak mau makan.
Tak ada yang menyangka, menjelang sore beliau drop lalu tak sadarkan diri.
Begitu suami sampai rumah, dia langsung salat jamak Magrib dan Isya. Aku memperhatikan raut wajahnya, masih dapat kulihat ketenangan di sana.
Selesai salat, dia langsung menyusul mobil yang membawa ibu mertua yang menuju rumah sakit. Entah berapa fasilitas kesehatan yang mereka datangi, tetapi tidak ada yang menerima. Saat itu faskes memang sedang penuh oleh pasien covid 19. Dengan berat hati akhirnya ibu mertua dibawa pulang kembali ke rumah dan suami mendampingi.
Aku dan anak-anak masih di rumah orang tua. Hati tak menentu dan aku sudah berpikir yang macam-macam. Aku sempat tertidur sebentar dan kemudian terbangun oleh dering telepon dari suami.
“Mamah sudah semakin lemah,” kata suamiku. Hanya beberapa kata saja, tetapi sudah mampu menghancurkan jiwa. Secara berkala dia memberikan kabar dan aku pun tidak bisa terlelap lagi.
Sekitar pukul dua dini hari di ujung telepon aku mendengar isak tangis adik iparku. Hal yang kutakutkan pun terjadi. Ibu mertua berpulang tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal dan aku pun tidak sempat meminta maaf atas semua kesalahan.
Membacanya ikut merasakan deg degan ketika ibu mertua sakit dan akhirnya berpulang turut berduka cita ya mba semoga husnul khotimah
Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Ssmoga husnul khotimah ya.amal ibadahnya diterima Allah. Ikut merasakan apa yang dituliskan di sini
Insya Allah husnul khotimah ya teh untuk beliau. Semoga keikhlasan keluarga yg ditinggalkan membawa kelapangan bagi beliau di tempat terindah sekarang
🥺🥺
kak Mon aku merembes banget bacanya, kebayang banget pas tulisannnya bisa dibayangkan suasanya seperti apa. jadi ingat ayahku pas aku mau berangkat lagi, ga nyangka 3 minggu dari situ aku kehilangan ayahku. alfatihah untu orangtua kita ya kak Ros, semoga beliau mendapatkan tempat yang indah di sisi-Nya, aamiin allahuma aamiin