Legenda Situ Bagendit: Nyi Endit Tak Tahu Bahwa Harta Tak Dibawa Mati

Adakah yang tahu mengapa danau di Kota Garut itu dinamai Situ Bagendit?

Dalam Bahasa Indonesia, situ berarti danau dan Bagendit mengacu pada tokoh dalam legenda setempat yaitu Nyi Endit. Nyi Endit merupakan seorang janda kaya raya yang memonopoli hasil bumi para petani lokal, dia membayar dengan harga yang sangat rendah. Para petani tidak punya pilihan lain, karena jika menolak untuk menjual kepada Sang Nyai, maka mereka harus berhadapan dengan centeng-centengnya yang tidak mengenal belas kasih.

Tanah di sekitar Situ Bagendit sangat subur, tetapi hal itu tidak lantas membuat penduduknya hidup berkecukupan. Sifat kikir Nyi Endit membuat para petani hidup menderita. Saat musim panen tiba dengan terpaksa mereka menjual padi pada Nyi Endit, dan saat mereka kehabisan beras di musim paceklik dengan berat hati mereka membelinya kembali dari Nyi Endit dengan harga yang tidak masuk akal. Jika para petani tidak mempunyai uang, Nyi Endit akan mengutangi mereka dengan bunga berkali-kali lipat. Oleh karena itulah, hanya Nyi Endit yang hidup makmur, sedang yang lainnya hanya menunggu waktu untuk tersungkur.

Kekejamannya tidak berhenti sampai di situ, seolah menutup mata dengan keadaan sekitar yang serba kekurangan, Nyi Endit disebutkan gemar mengadakan pesta jamuan yang meriah bagi keluarga dan kerabatnya. Tak ada sedikit pun tebersit di hatinya untuk berbagi dengan tetangganya yang miskin. Pernah ada seorang nenek renta yang mendatangi satu-satunya rumah megah di kampung itu untuk meminta makanan saat pesta berlangsung, para warga sudah memperingatkan agar nenek itu mengurungkan niatnya, karena dia hanya akan pulang dengan tangan hampa. Nenek itu bersikeras, dan benar saja apa yang dikatakan para warga, dia tidak mendapatkan apa-apa, selain cacian dan hinaan yang dilontarkan Nyi Endit.

Pada suatu ketika, terjadilah kemarau panjang di desa itu. Sungai dan sumur para warga mengering. Ada satu sumur yang airnya masih melimpah ruah, sayangnya sumur itu milik Nyi Endit. Penduduk desa sebenarnya enggan untuk meminta air kepadanya, tetapi desakan rasa lapar dan haus terlalu besar untuk mereka abaikan.

“Ada apa ini ramai-ramai ke sini?” sergah salah satu centeng Nyi Endit saat para warga memasuki pagar.

“Kami ke sini hendak meminta air kepada Nyai, sumur kami semua kering. Sebelumnya banyak saudara kami yang gagal panen sehingga sudah tidak punya beras. Kami kelaparan dan kehausan,” jawab salah seorang warga.

“Apa? Apa aku tidak salah dengar? Kalian mau meminta air kepadaku? Enak saja!” Tiba-tiba Nyai muncul dari dalam rumah dan langsung menghardik dengan angkuhnya.

“Iya, Nyai. Semoga Nyai berkenan,” ujar warga yang lainnya.

“Berkenan berkenan, ini sumur punyaku ya berarti buat aku, kalian tidak punya hak. Lagipula, bukan urusanku kalian mau kelaparan mau kehausan, aku tidak peduli,” jawab Nyai dengan bengisnya.

Penduduk desa pulang dengan membawa segunung rasa kecewa tanpa tahu kapan penderitaan mereka akan berakhir. Tanah yang subur dan hasil bumi yang cukup tidak membuat mereka hidup layak. Bahkan banyak penduduk yang telah kehilangan sawah mereka karena tidak mampu membayar utang pada Nyai.

Nyi Endit senang bila ada yang berutang kepadanya, karena hampir bisa dipastikan sawah dan harta benda orang tersebut akan berpindah tangan kepadanya. Setelah kehilangan sawah, dengan terpaksa mereka bekerja di sawah milik Nyi Endit dengan upah yang sangat minim, sehingga untuk makan pun mereka kebingungan, tidak mengherankan bila kemudian banyak penduduk yang menderita busung lapar.

Setelah para warga tidak terlihat lagi di pekarangan rumah Nyi Endit, entah dari mana datangnya, muncullah seorang kakek tua yang berjalan tertatih-tatih dibantu tongkatnya. Belum juga mengucap salam, sang kakek sudah dihadang para centeng.

“Ini lagi kakek tua, mau apa kemari? Mau minta air juga?” tanya seorang centeng berkumis baplang itu dengan galak.

“Iya, Tuan, saya minta sedikit saja air untuk minum, saya kehausan karena menempuh perjalanan jauh,” kata Kakek itu dengan terengah-engah, nampak jelas rasa lelah di raut wajahnya.

“Tidak ada urusannya dengan kami, mau perjalanan jauh juga, Kek,” jawab centeng bertubuh paling tinggi yang diikuti tawa yang lainnya.

Nyi Endit masih berdiri di teras rumahnya, tanpa berkata sepatah kata pun dia memasuki rumah. Ada seberkas rasa senang pada wajah kakek, dia mengira Nyi Endit akan membawakannya segelas air minum, dia tidak sejahat yang orang-orang katakan, batinnya. Para centeng pun saling bertatapan merasa aneh dengan sikap Nyai mereka.

Nyi Endit berjalan cepat, dia membawa seember air dan tanpa aba-aba menyiramkannya pada si Kakek. “Minum tuh airnya,” ujar Nyi Endit congkak.

“Kau pasti dapat balasan atas semua perbuatanmu, Nyi,” kata Kakek itu sambil menancapkan tongkatnya di tanah.

“Heh Kakek Tua, Ambil tongkatmu! Jangan buang sampah di sini!” Sergah Nyi Endit sembari mencabut tongkat itu dan melemparkannya.

Semua terkejut kerena tiba-tiba air keluar dari tanah bekas tongkat itu tertancap. Nyi Endit memerintahkan para centeng untuk menutup pancuran air yang lama kelamaan makin besar. Para centeng yang hampir semua berperawakan besar itu tidak mampu menghentikan aliran air. Hanya dalam waktu singkat, halaman rumah Nyi Endit sudah tergenang air cukup tinggi. Semua orang sibuk sehingga tidak menyadari Sang Kakek Tua berlalu entah kemana.

Penduduk desa berkerumun, menontoni para centeng yang dibuat tidak berdaya oleh air misterius itu. Setelah air setinggi pinggang orang dewasa, mereka memutuskan untuk mengungsi ke tempat yang aman. Mereka pulang ke rumah terlebih dahulu, untuk memastikan keluarga mereka selamat dan membawa serta harta yang tidak seberapa.

Kilat menyambar menakutkan diikuti guntur yang menggelegar, kemudian turunlah hujan deras yang membuat situasi makin mencekam. Guyuran air dari atas dan semburan banyu dari bawah tanah membuat penduduk semakin pontang-panting menuju tempat yang lebih tinggi. Dengan cepat air telah setinggi dada orang dewasa, para centeng pun mulai ketakukan. Mereka bertahan hanya karena diimingi-imningi kepingan emas oleh Nyai. Namun, saat gelap mulai menyelimuti desa dan tidak ada lagi penduduk lain yang tersisa, secara naluriah mereka pun menyelamatkan diri.

Teriakan Nyi Endit yang menyuruh kembali tidak mereka hiraukan, bahkan saat jumlah kepingan emas yang dijanjikan itu dilipatgandakan, mereka tetap berlalu. Apa gunanya emas kalau kita mati, hah! Pikir mereka. Nyi Endit tetap bergeming dengan memeluk peti emasnya. Dia tidak ingin kehilangan harta benda yang selama ini dia banggakan dan sombongkan. Sampai air merendam seluruh desa, Nyi Endit tidak pernah meninggalkan rumahnya.

Para warga yang mengungsi ke bukit terdekat, menyaksikan desa mereka berubah menjadi sebuah danau. Mereka kemudian memulai hidup baru di tempat baru tanpa sang Lintah Darat. Dari kabar angin yang berembus, terdengar kabar bahwa ada beberapa warga yang pernah melihat seekor lintah sebesar kasur dan mereka percaya lintah itu adalah jelmaan Nyi Endit.