Waspada! Infeksi Sekunder Akibat Plester untuk Luka

“Ma, tadi pas di lapang Dede jatuh. Nih, udah dipakein plester.”

Saya melihat sekilas pada lutut si bungsu yang sudah berbalut plester untuk luka. Raut wajahnya biasa saja. Dia tidak tampak kesakitan sehingga saya tidak sigap mengecek luka tersebut. Malah ada sedikit pikiran tebersit bahwa dia hanya gaya-gayaan.

Tahu Sherina di Petualangan Sherina yang kerap memakai plester meskipun tidak terluka, kan? Si cikal kerap melakukan itu, jadi saya berpikir si bungsu menirunya. Mengingat dia memang menjadikan sang kakak sebagai role model meskipun enggan mengakuinya.

Keesokan harinya saat sedang bermain-main di kamar, tiba-tiba si bungsu menangis di sela tawanya sambil memegang lutut yang berplester itu. Ketika saya hendak memeriksa, dia tidak mengizinkannya. Saya tidak bisa memastikan dia kenapa, tetapi tidak ada yang aneh dengan kulit di sekitar plester tersebut.

Setelah tangisnya reda, si bungsu kembali bermain seperti tidak ada apa-apa. Saya berniat untuk melepas plester di lututnya nanti kalau dia sudah terlelap di malam hari. Namun sebelum itu terjadi, si cikal berbisik. Katanya lulut si adik bengkak dan meneteskan cairan bening.

Kecemasan mulai merayapi benak seorang ibu yang memang kerap overthinking tentang apa pun mengenai anaknya. Seperti yang sudah bisa diprediksi, si bungsu marah saat saya hendak melihat luka di lututnya. Entah mengapa dia memang tidak nyaman menjadi pusat perhatian dan harus terus-terusan menjawab pertanyaan yang saya ajukan.

Saya mundur untuk mengurai ketegangan yang mulai merebak. Sekilas saya bisa melihat bahwa apa yang si cikal katakan sebelumnya benar adanya. Plester untuk luka itu telah membuat luka di lutut si bungsu malah membesar dan basah.

Plester untuk Luka

Luka Sekunder Akibat Plester
Kondisi luka setelah pembersihan di IGD dan pertama kali buka perban

Plester yang anak saya gunakan adalah plester yang tersedia di warung terdekat. Warna luarnya coklat, sedangkan bagian dalam berwarna putih. Di tengahnya ada sesuatu berwarna kuning yang kemungkinan mengandung obat dan sejenisnya.

Kejadian ini membuat saya sangat menyesal. Saya merasa teledor dan kurang peka. Hal itu menyebabkan luka yang tidak seberapa menjadi kian parah. Seharusnya pada malam pertama kejadian saat si bungsu tidur, saya lansung membuka plester itu.

Jika mengalami kecelakaan kecil saya pun kerap memasangkan plester pada luka. Namun, saya mencucinya terlebih dahulu dan tidak membiarkan plester melekat terlalu lama. Di kasus si bungsu, dia merekatkan plester sendiri tanpa mencuci luka. Lebih parahnya lagi, plester tersebut melekat lebih dari 24 jam.

Dia tidak mengeluhkan apa-apa bukan berarti tidak apa-apa. Mimpi buruk itu tiba-tiba saja datang dan saya pada awalnya masih menolak kemungkinan bahwa dia membutuhkan pertolongan. Saya memilih percaya bahwa luka itu akan segera sembuh dengan sendirinya.

Luka Itu Kian Menambah Derita

“Dede waktu itu kena knalpot panas?”

Tidak ada jawaban pasti atas pertanyaan itu. Si bungsu tampak kesal atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Dia menutup luka dengan tangan sehingga kami tidak bisa melihatnya dengan jelas.

Dugaan dia terkena knalpot panas itu ada karena lukanya yang mirip luka bakar. Tidak ada bayangan sedikit pun bahwa luka jatuh ringan bisa berakibat seperti itu dan terus meneteskan cairan bening.

Pada malam harinya saya berhasil membuka plester untuk luka tersebut. Si bungsu telah tertidur nyenyak, sehingga dia tidak terbangun saat saya melakukannya. Bengkak itu memang telah kempis, tetapi lukanya masih sangat basah.

Tampak luka setitik yang saya taksir sebagai luka si bungsu saat jatuh. Titik itu dikelilingi luka basah bekas bengkak berisi cairan yang telah meletus. Di bagian pinggirnya ada sedikit luka sobek yang menjadi jalan keluar bagi cairan bening.

Suami langsung mengolesinya dengan lidah buaya. Si bungsu sempat bergerak, tetapi dia tidak terbangun. Saat itu saya optimis, esok paginya luka tersebut akan mengering. Sesuai perkiraan atau entah hanya penglihatan saya saja, dari luka itu tidak ada lagi tetesan air bening.

Tidak ada demam yang menyertai luka tersebut. Si bungsu tetap bermain meskipun dia harus berjalan terpincang-pincang. Tangannya tak lepas memegang ujung celana agar tak mengenai sumber rasa sakit itu. Saking sensitifnya kulit si bungsu, paha atas yang kerap terkena kuku saat memegang ujung celana pun akhirnya terluka juga.

Malam berikutnya merupakan malam takbiran Idul Adha. Kami begadang karena kebetulan saat itu Timnas Indonesia tanding melawan Timnas Cina dalam laga Kualifikasi Piala Dunia 2026 putaran ketiga. Pertandingan itu membuahkan kemenangan dan sebuah tiket bagi timnas kita untuk melaju ke putaran keempat.

Akan tetapi berbeda dengan kejayaan Timnas Indonesia, pertarungan si bungsu melawan luka di lututnya belum berakhir. Keesokan paginya, luka tersebut malah membesar dan kembali basah. Sepertinya lutut si bungsu bergesekan keras dengan kasur saat dia tidur.

Serahkan Semua pada Ahlinya

Infeksi akibat plester untuk luka yang telah mengering
Infeksi sekunder akibat plester untuk luka yang berangsur sembuh

Saya dan suami membeli cairan infus ke apotik. Kami masih merawat asa bahwa luka si bungsu bisa segera sembuh walau hanya dibersihkan sendiri. Suami dengan telaten membasuhnya, tentu saat si bungsu tidur. Dia sempat berteriak, tetapi tidak terbangun.

Tepat di hari keempat, saya makin realistis. Luka tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda menuju sembuh walau sudah dibasuh cairan infus. Paska melahirkan dulu saya pun membasuh luka dengan cairan tersebut dan cukup manjur.

Saat itu tidak bekerja di luka si bungsu, saya dan suami akhirnya memutuskan untuk membawa dia ke fasilitas kesehatan terdekat. Kami ke sana bakda asar dan kepada si bungsu kami bilang akan jalan-jalan sore.

Saat sampai di pelataran klinik, dia enggan turun dari motor. Saya pun membiarkannya karena ada suami yang mengawasi. Dengan hati tak menentu, saya menuju bagian registrasi setelah sebelumnya mengambil nomor antrean.

Si bungsu masih belum tahu tujuan kami ke sana, tetapi dia sudah agak tenang dan mau masuk ruang tunggu. Tidak lama kemudian tiba gilirannya masuk ruang pemeriksaan. Saya menggendong dia saat memasuki ruangan tersebut.

Saat dokter meminta menidurkannya di tempat yang sudah disediakan, si bungsu mulai memberontak. Saya dan suami sigap memeganginya. Setelah dokter memeriksa dan mendengar penjelasan kami, dia mengatakan bahwa si bungsu terkena infeksi sekunder.

Melansir dari verywellhealth.com, Infeksi sekunder adalah infeksi yang terjadi ketika infeksi lain, yang dikenal sebagai infeksi primer, telah membuat seseorang lebih rentan terhadap penyakit. Disebut infeksi sekunder karena terjadi setelah atau karena infeksi lain.

Yang bisa saya pahami berdasarkan pengertian di atas adalah bahwa luka basah yang si bungsu alami terjadi akibat pengobatan luka jatuh yang menjadi luka primer. Tentunya luka sekunder pada kasus ini ada karena penanganan yang tidak tepat dari proses pengobatan luka yan pertama.

Penutup “Plester untuk Luka”

Dokter menjelaskan bahwa segala sel mati dan kotoran yang ada pada luka tersebut harus dibuang. Jadi, bukan sekadar dibasuh seperti yang kami lakukan beberapa hari sebelumnya. Kalau seperti itu, luka tidak akan bisa kering, malah akan terus meluas.

Lebih lanjut, dokter memaparkan bahwa proses tersebut tidak mesti tenaga medis yang melakukan, kami sebagai orang tua bisa melakukannya sendiri. Dia membebaskan mau dibersihkan di rumah atau di klinik.

Dengan kesadaran penuh kami memilih membersihkan luka si bungsu di klinik. Kalau di rumah sudah pasti tidak akan kondusif. Sekadar untuk membasuh luka, kami harus menunggunya tidur, apalagi kalau harus membuang segala kotoran.

Dokter mengarahkan kami ke IGD, di sana ada perawat yang bertugas. Setelah memberikan pengarahan, dokter kembali ke ruang pemeriksaan. Di sini si bungsu sudah menangis, makin lama tangisannya makin menjadi. Bahkan petugas security pun sampai menghampiri, saking keponya pada sumber huru-hara sore itu.

Saya memegangi tangan si bungsu, sedang suami fokus ke kaki. Sengaja saya tidak memperhatikan proses pembersihan, rasanya ngilu dan tidak tega. Apalagi anak saya terus berteriak dan menangis sembari menatap mata ibunya ini.

Kata suami segala kotoran dan sel mati itu, perawat buang dengan menggunakan kain kasa. Entah apa lagi yang dia gunakan, yang pasti setelah bersih, dia mengoleskan salep dan menutupnya dengan kain kasa.

Saya sempat melihat lutut si bungsu kemerahan, tetapi itu jauh lebih baik. Bersih dan tidak ada cairan bening yang menetes. Setelah itu, kami menunggu beberapa saat untuk mendapatkan ibuprofen, antibiotik, dan salep. Berawal dari luka yang tidak seberapa, kami jadi mengeluarkan Rp. 140.000. Namun, yang terpenting si bungsu kini sudah tidak kesakitan lagi.

Demikianlah kehebohan si bungsu yang berawal dari plester untuk luka. Alhamdulillah semua bisa teratasi dengan baik. Kalian punya cerita serupa, Playmates? Perihal sesuatu yang kita anggap sepele, tetapi ternyata bikin tantrum, le. Sharing di sini, yuk!

13 pemikiran pada “Waspada! Infeksi Sekunder Akibat Plester untuk Luka”

  1. Saya baca ini jadi tertampar, karena saya sendiri menggunakan plester masih suka cuci luka dulu di keringin pakai sapu tangan dan tempel plester. Terus plesternya pokok yang biasa dijual di warung atau toko terdekat, jadi nggak ngecek lagi.

    Berarti bisa saya asumsikan kalau luka sejenis kena knalpot atau kena panas melepuh, tidak disarankan pakai plester ya, Mbak?

    Balas
    • Saya juga jadikan ini pelajaran buat saya juga nih. Apalagi Luka kena knalpot Gini, jangan asal tempel plester, harusnya dibiarkan terbuka tapi tetap diperhatikan jangan sampai terkontaminasi. Kalau sudah jadi begini, urusan makin parah. Apalagi anak-anak tuh susah banget diobatin. Harus pakai jurus tenaga dalam juga buat meganginnya hihi

      Balas
  2. Terima kasih mbak untuk informasinya. Benar-benar informasi yang penting banget, apalagi saya bukan seorang dokter. Jadi, perlu banyak informasi.

    Balas
  3. Baru tahu ternyata plester luka bisa berakibat infeksi seperti itu..terkadang kita seringnya karena sudah diberi plester ya sudah begitu saja. Haru sering dicek juga ya khawatir nya terjadi seperti ini

    Balas
  4. Ini tuh aslinya kena knalpot ya, anak-anak laki kadang suka cuek banget kalau pas Luka. Jadinya kita emaknya ((kadang)) ikutan cuek juga haha.. aku jadi pelajaran banget anakku laki-laki juga suka begini. Jangan asal tempel plester Luka. Bisa bahaya akhirnya.

    Balas
    • Aduh aku bacanya kayak melihat anak sendiri. Sama percis anakku nggak pernah mau dilihat kalau luka dan nggak mau bilang. Mungkin takut aku marahin kali ya. Tapi kalau sama ayahnya yang telaten, dia mau kalau dibersihkan. Kami selalu sedia alkohol sama kasa, plester di rumah. Lengkap pokonya jadi kalau anak jatuh suami yang sigap bersihkan, sama aku mah anaknya nggak mau.

      Ada aja ya kehebohan yang terjadi gara-gara luka, jadi weh kudu jajan, hehe. Tapi, gapapa yang penting kita tahu penyebab dan udah ada solusinya. Bisa main lagi deh.

      Balas
  5. aku termasuk ibuyang kalau lihat hat luka begini tu, ngilu diperut. antara enggak tega melihatnya tapi, yang namanya anak biasanya dia enggan ditanya banyak soal luka yang dialami. persis dg anakku. Sampai berjilid² lah kalau ditulis,berapa kali luka karena jatuh, goresan, bahkan kena api. Big hug mbak semua ada hikmahnya ya. dan ini, warning juga bagiku.terima kasih sharingnya

    Balas
  6. Wah, aku baru tahu ternyata memilih plester juga ada ilmunya, ya! Selama ini asal tempel aja kalau ada luka kecil, padahal ternyata beda jenis plester punya fungsi masing-masing.

    Makasih banyak, Mbak Monica, infonya bermanfaat banget apalagi buat emak-emak yang sering jadi “dokter dadakan” di rumah. Penjelasannya jelas dan mudah dipahami. Jadi lebih siap deh menghadapi luka-luka kecil di rumah.

    Balas
  7. Cerita ini membuat saya lebih berhati-hati dalam menggunakan plester untuk luka, terutama jika anak yang memasangnya sendiri. Ternyata luka kecil pun bisa berkembang menjadi infeksi serius kalau tidak segera dibersihkan dengan benar.

    Balas
  8. Kalau plester dibiarkan begitu saja jadinya kotoran semakin menumpuk dan bakteri jahat menyebabkan luka makin memburuk ya. Memang sih kadang kalau dah diplester pada ga mau ganti lagi. banyak alasan salah satunya seperti perih kalau dibuka terus kena air,.

    Balas
  9. Edukasi banget untuk saya, mbak.. bahwa penanganan luka harus sangat diperhatikan ya. Meskipun kita anggap luka kecil namun ternyata harus ada langkah lanjut seperti harus steril dan penggantian plester lebih rutin ya

    Balas

Tinggalkan komentar