Benarkah Kusta dan Disabilitas Identik dengan Kemiskinan?

Assalamualaikum, Playmates. Salam sehat untuk semua, ya. Pada tanggal 28 September 2022 KBR dan NLR bekerja sama mengadakan live streaming dengan tema Kusta dan Disabilitas Identik dengan Kemiskinan, Benarkah? Tema ini sangat menarik mengingat betapa sulitnya menghapus stigma negatif Kusta yang merebak di masyarakat.

Beberapa waktu lalu kerajaan Inggris Raya berduka. Sang ratu yang telah berkuasa selama 70 tahun wafat di usia 96 tahun. Menariknya, berita meninggalnya Ratu Elizabeth II malah membuat konten tentang Lady Diana muncul di beranda dan FYP medsos.

Saat mendengar kusta, pikiran saya tidak bisa lepas dari sosok Lady Di karena Princess of Wales itu merupakan duta dari The Leprosy Mission of England, sebuah organisasi kesehatan yang concern pada masalah kusta, sejak tahun 1990 hingga hari meninggalnya.

Bersama organisasi tersebut sang lady telah mengunjungi banyak rumah sakit perawatan kusta atau disebut juga lepra di seluruh dunia. Pada tahun 1989 sang putri mengunjungi Indonesia, tepatnya di RS Sitanala di Banten.

Lady Diana Saat Berinteraksi dengan Penderita Penyakit Kusta

    pict by okezone.com

Kala itu Diana memicu kemarahan Ratu Elizabeth II karena berdekatan dan menyentuh perban penderita kusta. Ratu menganggap tindakan itu bisa membahayakan karena kusta merupakan penyakit yang menular.

Faktanya, apakah benar kusta dapat menular semudah itu? Dan benarkah kusta identik dengan kemiskinan? Dengan menyimak live streaming yang diadakan KBR dan NLR semakin tercerahkanlah pikiran saya terhadap penyakit kusta ini.

Related:

Film Tampan Tailor, My Daddy My Superhero

Beri Aku Cerita yang Tak Biasa, Sinergi Terpuji Antara Wanita dan Budaya

Sepintas tentang Kusta

Kusta atau lepra, merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae (M. leprae). Seorang ilmuwan bernama Hansen menemukan penyakit ini pada tahun 1873. Inilah mengapa nama lainnya adalah Morbus Hansen.

Salah satu gejala kusta yang mengharuskan dokter mengamputasi jari jemari ini mendatangkan stigma yang buruk terhadap penderitanya. Akibat efek sosial dan psikologis yang mendera penderitanya, mereka kerap terisolasi dan bersembunyi tanpa mendapatkan pertolongan. Stigma yang yang menimpa para penderita kusta telah berlangsung sejak ratusan tahun.

Penemuan kasus kusta di Indonesia cenderung stagnant dalam sepuluh tahun ini, yakni sekitar 16.000-18.000 orang. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kasus tertinggi ketiga di dunia setelah India dan Brazil.

Saat ini, data dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia per tanggal 24 Januari 2022 mencatat bahwa jumlah kasus kusta terdaftar sebesar 13.487 kasus dengan penemuan kasus baru sebanyak 7.146 kasus.

Pada 2021 lalu tercatat sebanyak 6 provinsi dan 101 kabupaten/kota yang belum mencapai eliminasi kusta. Hal ini mengindikasikan adanya keterlambatan penemuan dan penanganan kusta serta ketidaktahuan masyarakat tentang tanda kusta.

Pun, stigma terhadap penyakit tersebut membuat kesadaran untuk memeriksakan diri orang dengan gejala kusta menjadi rendah. Akibatnya penularan kusta terus terjadi dan kasus disabilitas kusta tinggi.

Narasumber Live Streaming tentang Benarkah Kusta dan Disabilitas Identik dengan Kemiskinan?

Narasumber Live Streaming Tentang Benarkah Kusta dan Disabilitas Identik dengan Kemiskinan?

Debora Tanya memandu acara ini dengan mendatangkan dua narasumber:

  • Sunarman Sukamto, Amd. Tenaga Ahli Kedeputian V Kantor Staf Presiden (KSP), dan
  • Dwi Rahayuningsih. Perencana Ahli Muda, Direktorat Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarat, Kementrian PPN/Bappenas.

Related:

Ponsel Mungil Berperforma Tinggi yang Rilis Besok, Kepoin, Yuk!

Upaya Pemerintah dalam Penanganan Kusta

Pak Sunarman Sukamto menjelaskan bahwa KSP memiliki tugas untuk memastikan penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemanjuan hak penyandang disabilitas untuk menjadi bagian dari semua proses perencanaan dan pelaksanaan, monitor dan evaluasi pembangunan inklusif disabilitas.

KSP yang juga mempunyai tugas dalam pengendalian program prioritas, pengelolaan isu strategis, dan komunikasi publik termasuk sub bagiannya adalah disabilitas dan salah satu disabilitas itu penderita kusta tentunya memberikan perhatian pada Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) dan penderitanya.

Kantor Staf Presiden bukanlah lembaga sektoral, tetapi KSP memastikan adanya sinergi atau kolaborasi lintas sektor, bidang, dan organisasi. Mengingat masalah kusta ini berkenaan dengan HAM sehingga membutuhkan penanganan multidimensi.

Kementrian Kesehatan melakukan upaya terbesar penanganan kusta ini dengan upaya-upaya meningkatkan eliminasi Kusta. Selain itu, pemerintah melakukan penanganan di sektor sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Kementrian Sosial pun telah melakukan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan pada penyandang disabilitas dan OYPMK, di antaranya:

  • Bantuan sembako. Pemerintah memberikan kebijakan ini kepada mereka yang sudah masuk database Kemensos.
  • Bantuan asistensi rehabilitasi sosial dan penyaluran alat bantu.
  • Program kemandirian usaha
  • Kemensos bersama Dinsos di beberapa pemerintahan daerah menyelenggarakan shelter eks kusta, yakni penyediaan tempat bagi mereka yang pernah mengalami kusta, antara lain ada di Dusun Sumberglagah, Desa Tanjung Kenongo – Jawa Timur, Desa Banyumanis di Jawa Tengah, dan kompleks penderita kusta Jongaya di Makassar.

Tingkat Kemiskinan Penyandang Disabilitas dan OYPMK

Bu Dwi Rahayuningsih menyampaikan bahwa belum ada data spesifik berapa jumlah orang miskin dengan penyakit kusta karena pemerintah melakukan pendataan dengan mengategorikannya secara umum dalam disabilitas fisik.

Lebih lanjut, menurut data tingkat kemiskinan Indonesia secara nasional pada tahun 2021, penyandang disabilitas itu (15,26%) lebih tinggi dibanding orang bukan disabilitas (10,14%).

Benarkah Kusta dan Disabilitas Identik dengan Kemiskinan? Cari tahu, Yuk!

Keseruan Live Streaming tentang Kusta bersama KBR & NLR

Bu Dwi memaparkan bahwa masih adanya stigma negatif terhadap para penyandang disabilitas secara umum, termasuk penderita kusta sehingga hal itu membatasi penyandang disabilitas untuk lebih banyak berkontribusi dan ikut berpartisipasi dalam aktivitas sosial, maupun aktivitas produktif.

“Ini juga memengaruhi bagaimana akses mereka pada tingkat pendidikan, ketenagakerjaan, kewirausahaan. Termasuk ketika penyandang disabilitas ingin berwirausaha dengan mengakses modal dari lembaga keuangan juga ini masih terdapat diskriminasi ataupun stigma tertentu yang membuat aksesbilitas terhadap hal-hal tersebut sangat terbatas. Ini yang kemudian berpengaruh kepada tingkat kemiskinan penyandang disablitas. Jadi memang tidak serta merta kita mengidentikkan penyandang disabilitas, kusta, itu miskin, tetapi lebih kepada reasoning di balik kemiskinan itu yang memang belum sepenuhnya dalam tanda kutip kepada penyandang disabilitas,” jelas Bu Dwi.

Informasi Penting Tentang Kusta

Saat pariwara ada sebuah informasi penting yang berupa dialog. Bincang-bincang tersebut menyebutkan bahwa kusta tidak dapat menular dengan mudah. Kusta hanya dapat menular jika ada kontak fisik minimal 20 jam berturut-turut selama seminggu dengan pasien kusta yang belum berobat.

Lalu bagaimana dengan keluarga yang kontak erat dan tinggal serumah dengan pasien kusta? Mereka harus melakukan pengobatan dengan meminum Rifampicin dosis tunggal untuk mencegah penularan.

Penutup Live Streaming “Benarkah Kusta dan Disabilitas Identik dengan Kemiskinan?”

Tindakan penuh kasih Lady Diana terhadap penderita kusta telah banyak mengubah pandangan masyarakat terhadap penyakit tersebut yang disebut sebuah kutukan. Namun, stigma negatif itu belum sepenuhnya menghilang.

Stigma itu secara tidak langsung membatasi ruang gerak penderitanya sehingga mereka sulit berkembang dan terjebak dalam kemiskinan. Bukan saatnya lagi kita untuk mengasihani, tetapi sudah merupakan kewajiban kita untuk menghormati dan memperlakukan mereka dengan semestinya.

Jadi, benarkah kusta dan disabilitas identik dengan kemiskinan? Jawabannya tidak, tetapi stigma negatif turut andil dalam menyebabkannya. Yuk, bijak berprilaku dan bersikap agar tidak ada pihak yang merasa rugi. Apalagi kini kita telah mengetahui bahwa penyakit kusta tidak mudah menular. Stay safe and healty, Playmates.

Sumber:

https://www.klikdokter.com/info-sehat/kulit/mengapa-mendiang-putri-diana-tak-takut-tertular-kusta

24 pemikiran pada “Benarkah Kusta dan Disabilitas Identik dengan Kemiskinan?”

  1. Terima kasih atas infonya. Setau saya wabah kusta itu menyerang daerah yang kumuh dan kotor, termasuk daerah yang sering kebanjiran. Dan rata-rata itu berada di wilayah pemukiman padat penduduk seperti di perkampungan yang umumnya hidup miskin. Seperti covid juga perlu isolasi mandiri juga, karena sifatnya menular dan langsung terlihat dari kulit

    Balas
  2. Betul sekali, nih, kak, Stigma negatif tentang lepra atau kusta harus diluruskan. Allah maha adil, pasti akan selalu memberikan jalan penyelesaian pada setiap masalah yg dihadapi hambanya. Jadi diingatkan kembali tentang sosok lady Dy yg inspiratif dan penuh kasih. Artikelnya sangat mengedukasi.

    Balas
  3. Di masyarakat masih banyak stigmatisasi tentang penderita kusta. Sehingga mereka terlantar dan mengemis pada akhirnya di jalan raya.
    Sosialisasi terkait kusta memang harus meluas ya agar tidak ada yg dirugikan

    Balas
  4. PR besar bersama.adalah menghilangkan stigma negatif, sehingga semua memiliki kesadaran dna kepedulian. Saya langsung membuka mata saat kemarin menyimak live streaming ini karena ternyata angka kemiskinan disabilitas cukup tinggi

    Balas
  5. Bahkan tokoh se berpengaruh lady Di sj masih belum mampu menghilangkan stigma negatif dari penyakit ini. Memang sulit ya menghilangkan stigma yg sudah terlanjut melekat di masyarakat terlebih setingkat dunia spt kasus lepra ini. Semoga tulisan2 baik ini bisa semakin mengurangi stigma itu

    Balas
  6. Ya Allah jadi inget majalah Intisari. Dulu kalau ke rumah Bibi kerap membacanya.

    Sungguh berat perjuangan para penyandang disabilitas. Semoga tidak ada lagi diskriminasi sehingga bisa hidup dengan layak.

    Balas

Tinggalkan komentar