Malam Takbir Idul Fitri, Kisah Malam yang Tak Lagi Mati

Suami saya bekerja di luar kota. Meskipun di rantau tidak terlalu lama, sekitar dua minggu, tetapi tiap momen lebaran dia kebagian vibes mudik bersama perantau jauh. Di tahun ini, suami pulang sehari sebelum malam takbir Idul Fitri.

Semenjak masih di perantauan, suami sudah merencanakan untuk buka bersama anak-anak di luar. Si cikal sudah full saumnya dari tahun kemarin dan untuk memberikan sedikit apresiasi, dia berniat memberikan sentuhan agak berbeda di pengalaman berpuasa anak.

Di hari terakhir bulan Ramadan itu, kami berniat ke luar rumah sekitar pukul lima sore. Kemudian berbuka di Masjid Agung yang terletak di alun-alun, lalu Salat Magrib, selanjutnya jalan-jalan santai mencari tempat makan.

Akan tetapi rencana itu ambyar setelah melihat Mama terlihat memasak gulai tulang super. Di keluarga kami, menu tersebut adalah salah satu makanan hari raya, sehingga sangat sulit untuk di-skip. Terlebih saat itu, saya belum beres memasak sambal goreng kentang.

Oleh karena, itu kami mengubah rencana. Kami memutuskan berbuka di rumah terlebih dahulu untuk menikmati suasana Ramadan terakhir di tahun ini. Setelah berbuka dan Salat Magrib baru kami menuju pusat kota.

Sebelumnya, saya tidak pernah ke luar rumah di momen malam takbir Idul Fitri. Namun, tentu kami bisa memprediksi jalanan akan sangat ramai, sehingga kami memilih untuk naik kendaraan umum.

Buka Bersama Anak-Anak di Luar

Meskipun bukan momen wajib, buka bersama di luar menjadi salah satu kegiatan yang ramai dilakukan masyarakat saat bulan Ramadan. Bahkan, non-muslim pun turut meramaikannya.

Hal ini terlihat dari banyak konten di media sosial. Video-video itu memperlihatkan sekumpulan orang yang bukber padahal yang puasanya satu dua orang. Bahkan, ada yang semuanya nonis.

Saya tidak terganggu akan hal itu. Saya justru senang, saudara-saudara tidak seiman turut merasakan vibes Ramadan. Mulai dari war takjil, bukber, hingga ketupat dan baju lebaran.

Untuk pemilihan waktu bukber keluarga di luar ini, sepertinya kami salah membuat keputusan. Seharusnya, kami bukber di awal Ramadan, bukannya di malam takbiran yang pastinya tidak akan kondusif.

Di awal-awal Ramadan, suami masih belum berangkat kerja ke luar kota. Harusnya saat itulah kami memutuskan untuk buka bersama anak-anak di luar. Insyaallah kita bukber di Ramadan tahun depan, ya, Nak.

Membeli Baju Lebaran

Suasana Alun-Alun Garut saat Malam Takbir

Belakangan saya lebih suka membeli baju secara online. Selain tidak perlu mengeluarkan tenaga dan ongkos, mencari produk yang kita suka pun lebih mudah. Saya sudah mempunyai toko langganan, jadi tidak perlu mencari-cari di toko lain karena sudah cocok dengan produk-produknya.

Belum lama ini toko tersebut menyediakan juga gamis ukuran anak, sehingga saya bisa seragaman dengan si cikal. Namun, saat saya mengecek ketersedian koleksi toko mereka satu bulan sebelum lebaran, ternyata produknya sudah tidak lengkap. Sehingga saya sulit mendapatkan warna gamis yang sama untuk size saya dan si anak gadis.

Saya tetap memantau toko tersebut hingga seminggu kemudian dan tidak ada tanda-tanda mereka akan restock barang, terutama untuk gamis anak. Di lain sisi, saya enggan mencari di toko lain dan tiba-tiba saja tebersit ide di pikiran untuk melakukan hal yang telah lama saya tinggalkan, yakni berbelanja pakaian di toko offline.

Saya menunggu suami pulang untuk berbelanja dan momen itu jatuh pada malam takbir Idul Fitri. Tak disangka ternyata jalanan padat karena pasar kaget yang luber ke jalanan. Kepadatan yang saya prediksi sangat jauh dari realita.

Keramaian itu lebih padat dari car free day yang dulu biasa ada di tempat yang sama tiap hari Minggu. Justru toko-toko pakaian yang saya incar telah tutup, menyisakan beberapa toko dengan stok penghabisannya.

Untuk pasar tumpah yang memanjang dari Alun-Alun Garut, harganya sangat murah. Mereka kebanyakan menawarkan harga seratus ribu rupiah untuk sekitar tiga potong baju. Para penjual sahut-menyahut menawarkan dagangan, bahkan ada yang memakai sound system yang mengiringi jogetan mereka yang menarik perhatian pengunjung.

Bukan baju di pasar tumpah, bukan pula pakaian di toko yang masih buka, seragam yang kami sekeluarga kenakan di hari Idul Fitri adalah busana yang sudah penjahit langganan selesaikan. Tadinya baju tersebut akan kami kenakan di hari pernikahan adik, tetapi dengan terpaksa pakaian itu debut di hari lebaran.

Malam Takbir Idul Fitri

Suasana Stasiun Garut di Malam Takbir Idul Fitri

Kami di luar rumah hingga tengah malam, tetapi tidak menemukan satu potong pun pakaian raya. Entah karena stok yang memang tinggal penghabisan, atau situasi yang terlalu ramai sehingga kurang kondusif untuk berbelanja. Satu hal yang pasti, tahun depan saya akan kembali berbelanja baju lebaran secara online.

Kabupaten Garut itu kota yang tidak terlalu ramai. Hari-hari biasa sekitar pukul tujuh atau delapan malam suasananya sudah mulai sepi. Namun, di malam spesial seperti malam takbir, kota kami tidak lagi mati di malam hari.

Saya tidak menyesal menghabiskan malam bersama keluarga di luar. Namun, ke depannya saya tidak akan merencanakan untuk bukber atau berbelanja di malam hectic itu. Cukup berjalan-jalan dan menikmati gelap yang tidak sunyi seperti hari-hari biasa.

Saat hampir tengah malam, kami memutuskan untuk pulang. Midnite sale di salah satu pusat perbelanjaan tidak menarik minat. Harganya rata-rata di atas setengah juta, sudah pasti saya bukan target market mereka.

Di pelataran tempat itu, kami mencari tempat duduk sembari memesan taksi online karena angkot tentu sudah tidak ada. Sempat ada driver yang menerima orderan, tetapi kemudian membatalkannya karena jalan di sekitar tempat kami menunggu macet.

Tiba-tiba saja, adik mengabari bahwa dia dan keluarganya akan segera sampai di Stasiun Garut. Tanpa ambil tempo, kami menuju stasiun kereta tersebut dan berharap ada taksi online yang bisa mengantar pulang dari sana.

Saya dan keluarga kecil berjalan menuju stasiun. Setelah menunggu sebentar, adik beserta anak dan istrinya tiba di stasiun yang konon paling besar di Jawa Barat itu. Lagi-lagi tidak ada mobil yang bisa menjemput kami karena di sekitar stasiun pun jalanan padat. Akhirnya kami memesan ojek online. Adik dan istrinya langsung mendapatkan driver, sedang saya dan suami harus menunggu cukup lama.

Penutup “Malam Takbir Idul Fitri”

Pengalaman pertama ke luar rumah saat malam takbiran itu makin kocak saat saya tidak juga mendapatkan ojek online, padahal di depan mata ada abang-abang berjaket hijau yang sedang pada mangkal. Setelah saya perhatikan dengan saksama, ternyata meskipun sama-sama berwarna hijau tulisan di jaket mereka berbeda dengan tulisan di aplikasi ojol milik saya.

Akhirnya suami menghampiri mereka dan menanyakan apakah bisa order offline. Alhamdulillah mereka menyanggupi meskipun harganya agak mahal dari tarif biasa. Malahan suami menambahkan lagi fee, katanya itu untuk THR.

Begitu dua ojol yang kami sewa sampai di dekat masjid sekitar rumah, suasana masih riuh dengan mereka yang menghabiskan malam dengan takbiran dan jajan di sana. Hal itu menjadi penutup kisah malam yang tak lagi mati khusus untuk hari ini.

Anak-anak gembira karena bisa ke luar malam. Sesampainya di rumah, mereka langsung bermain bersama sepupu yang tadi bertemu di stasiun. Energi mereka tampaknya belum habis, sedangkan saya sudah sangat kelelahan.

Tahun-tahun berikutnya, saya akan senang jika suami mengajak ke luar saat malam takbir Idul Fitri. Namun, itu hanya sekadar untuk jalan dan jajan, tidak ada lagi ceritanya punya rencana bukber dan belanja di momen tersebut. Bagaimana dengan kalian, Playmates, adakah pengalaman berkesan saat malam takbiran?

Tinggalkan komentar