Liburan bersama Anak, Siapkan Mental yang Kuat, Mak!

“Tiket kereta api lokal dari Garut ke Gedebage untuk jam 11.50 sudah habis?” Ada nada kekhawatiran dari suara saya perihal kelancaran rencana liburan bersama anak-anak ini.

Saat itu saya berada di depan loket karcis Stasiun Garut. Tas di pundak yang memang berat tiba-tiba membuat bahu panas dan sakit. Padahal tadinya tidak terasa terlalu membebani. Di dalamnya ada masing-masing tiga pasang baju milikku, si cikal, dan si bungsu. Kami berencana liburan bersama Nenek ke rumah adikku di Bandung.

Bulan Juni tahun lalu, kami pun pernah ke Stasiun Kiaracondong. Namun, saat itu tiket aman meskipun kami langsung membelinya di loket. Mungkin karena sekarang sudah hampir musim liburan kenaikan kelas, tiket sudah habis terjual.

Menyesal rasanya tidak membelinya secara online. Petugas loket memberitahu tiket kereta antar kota masih tersedia. Meskipun diskon, selisih harganya lumayan signifikan. Jika harga tiket KA lokal/commuter line Garut-Gedebage hanya Rp. 15.000, untuk KA antar kota yang tersedia harganya Rp. 35.000 setelah diskon dari harga normal Rp. 50.000.

Kami akhirnya memutuskan untuk naik KA antar kota meskipun pemberhentiannya di Stasiun Kiaracondong. Ini agak jauh sedikit dari kediaman adik, tidak sedekat dari Stasiun Gedebage.

“Kalau untuk KA antar kota, kami perlu mengecek kartu keluarga.”

Masalah baru timbul. Jika hendak naik kereta lokal, kita cukup menyebutkan NIK anak. Namun, ternyata itu tidak berlaku untuk KA antar kota. Karena niatnya memang akan naik KA lokal, saya tidak membawa KK.

Saya kembali berdiskusi dengan Nenek perihal bagaimana baiknya. Saat sedang mempertimbangkan, tiba-tiba kami mendengar petugas loket mengatakan pada calon penumpang lain bahwa tiket kereta itu tinggal satu. Maka dari itu, dengan cepat Nenek memutuskan untuk berangkat duluan, mengingat adik ipar sedang tidak sehat.

Si cikal langsung meneteskan air mata saat mengetahui Nenek akan pergi tanpa kami bertiga. Ini memberikan saya pelajaran untuk kedepannya lebih baik membeli tiket secara online saja. Agar terhindar dari hal semacam ini yang bisa mengganggu rencana liburan bersama.

Liburan Bersama

Kami bertiga berjalan lunglai meninggalkan Stasiun Garut. Si Cikal masih meratapi rencana perjalanannya yang tertunda. Saya pun penat membayangkan pulang ke rumah dan besok harus mengulang segala kehebohan sebelum berangkat tadi. Apalagi nanti saya meng-handle anak-anak sendiri.

Sejujurnya saya belum pernah bepergian jauh bersama anak jika tidak dengan suami. Anak-anak berumur 8 dan 5 tahun. Mereka sebenarnya bukan tipe anak yang rewel, tetapi si bungsu tidak terlalu suka keramaian dan tempat baru. Jadi, saya khawatir tidak akan bisa menangani mereka berdua sendirian.

Sebelum naik kendaraan, saya menyempatkan membeli minuman untuk anak-anak. Saat itu tengah hari dan mentari sedang panas-panasnya. Semua orang membutuhkan minuman dingin untuk menyegarkan hati dan pikiran.

Perjalanan Menuju Bandung

Liburan bersama anak ke Bandung

Mood anak-anak sudah lumayan membaik saat kami dalam perjalanan pulang ke rumah. Situasi aman terkendali jadi saya sempat mengecek pesan di ponsel. Ada dua notification dari nomor Mamah dan adik.

“Teh, ku abi dipesenkeun travel, nya”

Begitulah isi pesan dari adik. Pesan dari Mamah pun kurang lebih begitu isinya. Tentu saya senang karena esok tidak perlu mengulang persiapan perjalanan ke Bandung. Adik mengabarkan bahwa jam keberangkatannya pukul 02.00, jadi saya memutuskan untuk tetap pulang ke rumah terlebih dahulu.

Setelah Salat jamak qasar Zuhur dan Asar serta beristirahat sebentar, saya dan anak-anak menumpang taksi online ke pool travel yang sudah adik atur segala sesuatunya. Pool itu terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan, cukup dekat dengan lokasi Stasiun Kereta Api Garut. For your information, harga tiketnya adalah Rp. 60.000 per kursi.

Begitu duduk di ruang tunggu segera setelah check in, rasa khawatir mulai merebak. Apakah saya mampu meng-handle anak-anak seorang diri dalam perjalanan kurang lebih tiga jam ini? Namun, saya mencoba untuk membesarkan hati. Apa pun itu, selalu ada yang pertama dalam hidup, kan?

Kekhawatiran kian membuncah karena belum juga meninggalkan Garut, saya malah merasa mual. Ini mungkin karena saya belum makan, lalu masuk angin. Terlebih kami duduk di kursi paling belakang. Meskipun kendaraannya nyaman, saya tidak lolos dari keinginan mengeluarkan isi perut yang sebenarnya kosong.

Berbagai pikiran positif terus saya upayakan. Saya tidak boleh tumbang dalam perjalanan liburan bersama anak-anak ini. Lagian ini hanya ke Bandung, bisa-bisanya saya merasa kepayahan.

Dengan keadaan pusing, saya menyodorkan kantong keresek hitam pada si cikal. Benar saja dia muntah sampai dua kali. Namun, setelah itu dia tampak jauh lebih segar.

Kami turun di pool travel tersebut di daerah Buah Batu. Dari sana kami menumpang taksi online menujuĀ salah satu perumahan di Ciwastra. Rasa pening yang saya rasakan masih bersemayam hingga malam kelam menghujam.

Perjalanan Pulang ke Garut

Perjalanan pulang ke Garut setelah liburan
Bertemu orang baik di kereta kemudian mampir ke Gramedia sesaat setelah sampai di Stasiun Garut

Lagi lagi semuanya tidak sesuai rencana. Saya dan anak-anak pulang duluan ke Garut, sedangkan Mamah masih akan menginap di Bandung untuk dua hari ke depan.

Jadwal kereta lokal Stasiun Gedebage-Garut agak berbeda dengan jadwal Stasiun Garut-Gedebage. Dari Stasiun Gedebage tidak ada jadwal siang, jadi terpaksa saya ambil jadwal pagi karena tidak mungkin memilih yang jadwal pukul tujuh malam.

Untungnya jadwal paginya tidak sepagi dari Stasiun Garut. Keberangkatan pukul 07.30, saya pikir cukup bisa dikejar meskipun pulang bersama anak-anak.

Akan tetapi, saya lupa memperhitungkan kalau Stasiun Gedebage itu ada di tengah-tengah perjalanan. Jadi, di sana keadaan kereta akan telah penuh dan naas KA lokal tidak memiliki nomor kursi.

Alhasil kami berdiri sebentar karena masuk dari pintu sembarang gerbong tanpa tahu yang kosong sebelah mana. Drama telah dimulai beberapa saat sebelum kereta datang. Si bungsu menunjukkan tanda-tanda tidak nyaman.

Dia memang kerap seperti itu di tempat ramai. Anak lelakiku itu merengek tidak mau berdesak-desakkan masuk kereta. Saya berusaha tenang dan tetap mengarahkannya ke arah dalam.

Insiden tak terduga terjadi. Boneka landak kecil yang dari tadi si cikal pegang jatuh ke rel sesat sebelum masuk. Dia langsung menangis dan saya pun mulai sangsi apakah bisa menangani dua anak yang menangis.

Kami bertiga masih berdiri. Tangisan si bungsu menarik perhatian orang-orang sekitar, termasuk kondektur. Dia sempat membujuknya agar berhenti menangis, tetapi tidak berhasil.

Kondektur tersebut meminta seorang ibu bergeser agar saya bisa duduk. Saya memangku si bungsu yang masih merengek sambil terus membujuknya. Namun, tampaknya dia belum puas membuat huru-hara di hati ibunya ini.

Adapun si cikal, beruntung ada seorang ibu baik hati yang bersedia memangkunya bahkan saat dia tertidur. Saya sudah memerintahkan otak untuk tidak ikut menangis, tetapi tangis itu makin deras saat ibu itu mengelus pundak saya.

Penutup “Liburan Bersama”

Momen liburan tidak serta merta mendatangkan keceriaan. Ada pengorbanan yang harus kita lalui terlebih dahulu, salah satunya saat-saat di perjalanannya. Namun, biasanya rasa letih, lelah, dan kesal yang timbul akan sirna setelah kita sampai di tempat tujuan.

Begitu pun dengan kisah liburan saya bersama anak ke Bandung beberapa waktu lalu. Di tempat tujuan semua bersuka cita, tetapi sebelum dan setelahnya benar-benar menguras emosi. Apalagi ini perjalanan pertama saya bersama anak-anak tanpa ada yang lain menemani.

Kalau rencana dari awal saya harus pulang pergi Bandung bersama anak-anak, tampaknya saya tidak akan langsung menyanggupi. Namun, hidup memang penuh kejutan, kan, dan kita harus siap dengan segala kemungkinan.

Secara keseluruhan saya merasa mentalku aman, tidak ada panik berlebihan. Namun, masalahnya ada pada stock air mata yang melimpah. Bawaannya pengen ikutan nangis saat anak tantrum. Apalagi saat bertemu orang baik yang peduli, air mata malah tambah deras.

Persiapan paling utama memang perkara mental ibu. Selama ibu tenang, insyaallah anak aman terkendali. Terlebih kalau si bungsu, sih, kalau saya ikutan tantrum, biasanya dia akan tambah bikin emosi memuncak. Misal kalau hendak menasihati pun bukan saat itu waktunya. Bisa sebelum atau setelah perjalanan.

Jangan terlalu baper, ya, Playmates. Anak-anak saya pun meskipun agak drama, tetapi saat sudah sampai mereka anteng saja seperti tidak terjadi apa-apa. Apalagi saat kami mampir dahulu ke toko buku Gramedia yang dekat Alun-Alun Garut. Kericuhan sebelumnya sirna seketika.

Selain itu, siapkan bekal dan air minum, gunakan pakaian yang nyaman dan menyerap keringat, serta bawalah kantong keresek untuk jaga-jaga. Demikian sepenggal pengalaman mendebarkan liburan bersama anak yang baru saja saya alami. Kalian punya pengalaman serupa, Playmates? Sharing di sini, yuk!

10 pemikiran pada “Liburan bersama Anak, Siapkan Mental yang Kuat, Mak!”

  1. Nah aku ini tipe orang yang panikan Mbak. Kalau udah ada masalah gitu panik banget dan kadang bikin badmood. Biasanya kalau mau liburan, aku sediakan planing A dan B, kalau planing utama nggak bisa, langsung ambil planing A kalau masih nggak bisa ya B-nya. Dan ini juga pentingnya keberadaan suami buat bikin relaks istri biar nggak badmood dan tetep sabar. hehehe.. šŸ˜€

    Balas
  2. Tiket di musim liburan memang “war” banget, seperti yang saya alami beberapa hari lalu. Untungnya saya bepergian sendiri, gak kebayang kalau jadi ibu-ibu bersama anak-anak…

    Balas
  3. Aku kalau mau perjalanan jauh 2-3 jam, kalau ngajak anak perempuan semua, Masih aman mbak. Tapi kalau ketambahan sama si bungsu yang laki-laki. Ya Allah..aku harus banyak2 sounding dan berdoa. Beneran nggak kuat, kalau sama anak laki-laki. Benar2 beda kalau bawa anak perempuan semua.

    Balas
  4. Duh mbak, aku baca aja udah kebayang itu capeknya. Anakku baru satu, bukan tipe yang suka drama, tapi malah aku yang banyak drama. Itu pun kalo kemana-mana aku yang selalu tepar kepayahan setelah perjalanan panjang. Itulah kenapa aku suka bepergian naik kereta. Masalahnya sekarang, beli tiket kereta online tuh udah kayak war tiket nonton konser kpop. Apalagi pas peak season, libur panjang, dah lah tuh alamat gigit jari. Aku pernah berkali-kali nggak dapat tiket, padahal pesennya tuh udah seminggu sebelum tanggal keberangkatan. Akhirnya kemarin tuh aku booking tiket bener-bener H-7 di jam 12.05 dini hari!! Busettt sampe bela-belain bangun tengah malem demi dapat kursi (harus dapat karena bawa bocil kasian kalo nggak ada kursi kan). Dan yah, alhamdulillah dapat. Emang bener, udah berasa war tiket nonton bias dah…

    *duh maap jadi panjang curcolnya wkwk

    Balas
  5. Saya juga merasakan apa yang teteh alami ini, dulu saat anak-anak masih pada kecil. yaa adaaa aja masalahnya, apalagi kalau mereka sedang gak mood atau rewel aduuuh liburan seru malah jadi memusingkan. Tapi gpp, kan jadi bisa buat cerita ke mereka kalau dah besar. Seperti sekarang ini. Saya ceritakan bagaimana dulu anak bungsu saya nangis-nangis di hotel karena bonekanya hilang tertinggal di bandara saat menunggu ambil barang dari bagasi pesawat…saat kejadian yaa pusing tapi pas kita cerita-cerita kembali malah jadi ketawa tawa.

    Balas
  6. Pengalaman pertama naik kereta itu dihadapkan dengan ibu 2 anak,. Masyaallah telaten mengurusi kedua buah hatinya. Dalam hati sedang membayangkan apakah kalo sudah punya bakalan seriweh itu? Hehehe

    Balas

Tinggalkan komentar