Beberapa bulan terakhir, suami saya harus berurusan dengan fasilitas kesehatan demi mengatasi masalah gigi bungsu. Alur sistem rujukan sebenarnya tidak terlalu rumit, tetapi tetap saja bagi yang belum berpengalaman akan merasa sedikit kebingungan.
Pada pemeriksaan pertama, dokter menyatakan bahwa ada dua gigi bungsu yang harus dicabut. Namun, karena suami menggunakan BPJS, penanganan gigi tersebut tidak bisa sekaligus.
Dokter meresepkan obat karena gigi yang akan dicabut agak bengkak. Beberapa hari kemudian dokter mencabut gigi bungsu pertama dan alhamdulillah semua berjalan lancar.
Proses pencabutan ini di-cover BPJS, tetapi suami memilih bius lebih bagus yang bisa meredakan nyeri lebih optimal. Dia membayar seratus ribu rupiah untuk itu. Beberapa waktu sebelumnya, saya pun pernah cabut gigi di sana dan menggunakan bius yang sama.
Berdasarkan pengalaman memang tidak ada sakit hebat setelah proses tersebut. Ini sangat berbeda jauh saat saya cabut gigi untuk pertama kali sekitar dua puluh tahun lalu. Pada waktu itu saya sampai menangis kala efek biusnya sudah habis.
Alur Sistem Rujukan
Berbeda dengan kasus pertama, pada saat kembali ke faskes untuk memeriksakan gigi bungsu yang bermasalah satunya lagi, dokter mengatakan suami saya harus menjalani rontgen. Posisi gigi tersebut tidak sebagus gigi sebelumnya, jadi demi keamanan harus dicek secara mendalam terlebih dahulu.
Di fasilitas kesehatan tingkat satu yang berupa klinik itu tidak ada alat rontgen, sehingga dokter merujuk suami ke rumah sakit umum. Jadi dari ruang pemeriksaan, kami menuju bagian administrasi untuk meminta surat rujukan.
Surat tersebut berlaku selama tiga bulan, jadi kami tidak perlu bersegera ke RSU. Kebetulan saat itu menjelang bulan Ramadan dan waktunya suami merantau lagi. Jadi, kami memutuskan melakukan rontgen setelah hari Idul Fitri saja.
Sebelum berangkat, saya mencoba mencari informasi terkait alur sistem rujukan rontgen gigi pada adik ipar. Sekitar satu tahun lalu, dia pernah cabut gigi bungsu yang memerlukan rontgen juga. Jadi, saya bertanya padanya untuk mengetahui gambarannya. Namun, ternyata sudah banyak hal yang sudah berubah, gambaran itu jauh berbeda dengan apa yang terjadi di lapangan.
Mendatangi Fasilitas Kesehatan Tingkat 1
Tentu ini merupakan langkah pertama karena biasanya RSU tidak melayani kasus yang bisa ditangani di faskes 1, termasuk cabut gigi. Saya beberapa kali tambal dan cabut gigi di Puskesmas atau klinik.
Akan tetapi, untuk kasus tertentu seperti yang suami alami harus dirujuk ke rumah sakit. Alasan rujukan ini karena di klinik tersebut tidak ada alat rongent. Di dalam surat rujukannya tertulis bahwa treatment yang suami perlukan hanya rontgen. Jadi tindakannya tetap di faskes 1.
Hal ini berbeda dengan pengalaman adik ipar. Di RSU dia melakukan rontgen sekaligus cabut gigi, jadi tidak kembali ke faskes 1 lagi. Mungkin ini tergantung pada kebijakan dokter giginya masing-masing.
Setelah dokter tersebut memutuskan untuk merujuk suami ke RSU, kami keluar ruangan dan menuju petugas administrasi. Petugas tersebut membuatkan surat rujukan dan menyerahkannya pada dokter gigi untuk ditandatangani dan dicap terlebih dahulu sebelum dia menyerahkannya kepada kami.
Mengunduh Mobile JKN
Setahun belakangan ini, Bapak berobat jalan di rumah sakit. Beliau rutin kontrol satu minggu sekali. Setelah kondisinya membaik, frekuensinya menurun menjadi satu bulan sekali.
Setiap hendak kontrol, beliau mengambil nomor antrean secara online melalui aplikasi mobile JKN milik BPJS. Pengalaman senyata ini di depan mata tidak menggerakkan saya untuk menirunya karena kata adik ipar langsung saja datang ke RS. Posisi RS Bapak dan suami pun berbeda, jadi saya pikir kedua rumah sakit itu memiliki peraturan yang berbeda.
Dengan gagah berani dan kepercayaan diri tinggi pada Kamis minggu lalu, saya dan suami menuju rumah sakit rujukan. Kami sampai di sana pukul delapan lebih. Untuk ukuran keperluan ke instansi pemerintah, ini sudah masuk kategori kesiangan.
Saking percaya dirinya, kami melewati bagian informasi dan berjalan lurus ke arah poli radiologi. Mau di-rontgen kan, ya sudah ke sana saja. Kami sempat bertanya pada pihak security yang bertugas kalau mau rontgen ke mana dan dia mengarahkan ke sebuah loket pendaftaran.
Di sana sudah ada beberapa orang yang mengantre. Saat itu suami dan saya gelisah karena merasa ada yang salah. Ini karena surat yang saya pegang berbeda dengan yang orang lain pegang. Kemudian saya memberanikan diri bertanya pada seorang ibu yang juga sedang mengantre.
“Teh, ini langsung saja kita ngasihin surat rujukannya?”
Dia mulanya mengiyakan, tetapi kemudian noticed pada surat rujukan dari faskes 1 yang saya pegang.
“Harus daftar dulu, Teh, di bagian pendaftaran yang di depan,” katanya.
Setelah mengucapkan terima kasih, kami menuju tempat itu dan kembali diarahkan ke tempat lain. Di tempat itu, seorang petugas bertanya apakah kami sudah daftar online, kami menjawab belum. Lalu dia mengarahkan ke pusat informasi.
Pusat informasi tentu terletak tidak jauh dari pintu masuk. Seharusnya tempat inilah yang pertama kali didatangi saat menginjak gedung RS. Dari petugas kami tahu bahwa pendaftaran hanya bisa dilakukan secara online melalui mobile JKN.
Alur Sistem Rujukan: Mendatangi Pusat Informasi
Saya belum mengunduh aplikasi tersebut dan sebetulnya bisa saja melakukannya saat itu juga. Namun, mood suami telanjur terjun bebas sehingga kami memutuskan untuk pulang.
Di rumah, saya mengunduh aplikasi Mobile JKN. Ternyata data rujukan dari faskes 1 sudah tertera di sana. Saya kemudian mengambil nomor antrean. Keesokan harinya kami kembali mendatangi rumah sakit dan kali ini telah sampai di sana pada pukul tujuh.
Belajar dari kesalahan, kami pun menuju pusat informasi terlebih dahulu. Saya memperlihatkan nomor antrean di mobile JKN dan bertanya kami harus ke mana. Petugas itu mengarahkan ke tempat yang memperlihatkan komputer yang berjajar.
Sebetulnya kalau sudah beberapa kali ke rumah sakit, kita bisa skip bagian ini. Namun, bagi yang pertama kali, ke instansi atau gedung apa pun itu sebaiknya memang ke pusat informasi terlebih dahulu agar tidak salah langkah yang bisa berakibat fatal.
Menuju Loket Pendaftaran
Sekitar lima komputer berjajar memanjang di pelataran sebuah ruangan. Ke sana lah kami menuju. Dari pusat informasi kami berjalan lurus sedikit, lalu belok kiri.
Di belakang komputer itu ada seseorang yang bertugas dan di depannya ada sebuah kursi. Saya hendak duduk di sana, tetapi ada petugas berpakaian serba hitam yang bertanya perihal pasien. Kemudian saya mundur dan suami sebagai pasien yang berhadapan dengan petugas administrasi.
Saya duduk di belakang suami bersama pasien dan pendamping lainnya yang menunggu giliran. Samar-samar saya mendengar petugas tersebut bertanya pada suami tentang siapa yang menemani ke rumah sakit lalu terdengar nama saya disebut.
Suami kemudian menyerahkan surat rujukan dan petugas mengetikkan sesuatu di atas keyboard. Dia mengembalikkan surat rujukan beserta kertas lain. Setelah itu, petugas tersebut mengarahkan kami pada jajaran mesin antrean.
Check In melalui Mesin Antrean
Posisi mesin antrean ini persis di sebrang loket pendaftaran. Tidak perlu khawatir akan kebingungan karena ada petugas yang siap membantu. Kita cukup menyerahkan surat rujukan dan lainnya.
Petugas itu menyentuh layar dengan cekatan. Dia memasukkan data yang tertera di surat tersebut. Kemudian saya diminta untuk check in nomor antrean yang sebelumnya sudah ada di aplikasi mobile JKN.
Selanjutnya mesin tersebut mengeluarkan tiga salinan nomor antrean. Petugas itu menyerahkan satu untuk saya pegang dan dua sisanya dia satukan dengan surat rujukan.
Setelah itu, kami menuju poli gigi. Ingat, poli gigi terlebih dahulu, ya, meskipun tujuannya untuk rontgen. Dari awal ini adalah masalah gigi, jadi suami harus melakukan pemeriksaan di poli tersebut.
Pemeriksaan di Poli Gigi dan Endonsis
Waktu baru menunjukkan pukul setengah delapan pagi saat kami duduk di bangku tunggu. Pintu poli gigi masih tertutup dan tidak ada tanda-tanda kegiatan di dalam sana. Dari seorang pasien yang juga menunggu, kami tahu poli baru akan buka pukul delapan.
Karena masih ada waktu setengah jam, kami memutuskan untuk mengisi perut dahulu. Kami berjalan keluar dan menemukan berbagai gerobak makanan. Suami menawarkan bubur dan nasi kuning, tetapi saya belum terlalu lapar, sehingga memilih membeli lontong dan gorengan.
Kami melahap jajanan itu di taman terbuka di bagian depan RS. Tempat itu memang sudah jauh berbeda dari terakhir kali yang bisa saya ingat. Kini banyak taman hijau terbuka dan terdapat gedung baru di sebrangnya, yakni gedung khusus rawat inap.
Saat kami kembali ke bangku tunggu, poli telah buka dan kami menunggu beberapa menit sebelum suami mendapatkan giliran. Saat namanya dipanggil, saya mengekor ke ruangan periksa. Terdapat dua dokter muda yang mengobservasi kondisi suami.
Di ruangan tersebut ada beberapa orang lagi yang sedang mengerjakan tugas masing-masing. Kami diminta menunggu sebentar sebelum dokter itu memanggil kembali dan menyerahkan secarik kertas yang harus kami bawa ke bagian radiologi.
Alur Sistem Rujukan: Rontgen di Poli Radiologi
Akhirnya alur sistem rujukan itu mengantarkan kami ke poli radiologi. Poli yang kemarin langsung kami tuju. Dari poli gigi kami tinggal lurus, belok kanan, lalu belok kanan lagi.
Kami langsung mengantre dan kini merasa semua sudah berjalan seperti seharusnya. Seperti kemarin, loket itu tampak sibuk, mayoritas pasien hendak melakukan USG. Saya melihat orang lain langsung meletakkan kertas yang mereka pegang di meja.
Saya pun melakukan hal yang sama. Dari sesama pasien, saya tahu bahwa tempat rontgen gigi terletak di lantai atas paling ujung. Setelah memastikan kertas milik suami telah petugas ambil, kami pun segera menaiki tangga.
Lantai atas tampak ramai, tetapi oleh pasien THT. Untuk rontgen gigi hanya ada dua orang pasien yang menunggu giliran, sehingga kami tidak menunggu terlalu lama. Proses rontgen pun berjalan sebentar. Setelah selesai, petugas meminta suami menunggu lima menit. Jika dalam lima menit tidak ada panggilan lagi berarti proses telah selesai.
Mengambil Obat di Instalasi Farmasi
Waktu yang paling banyak kami habiskan untuk menunggu terjadi saat pengambilan obat. Selain cukup lama, kami pun tidak kebagian tempat duduk. Jadi, kaki lumayan pegal saat itu.
Nomor antrean yang tadi saya pegang ternyata berlaku pula untuk pengambilan obat. Pada secarik kertas itu tidak ada nama obat yang dokter resepkan, tetapi data tersebut sudah terekam secara digital. Jadi, saat observasi dokter langsung memasukkan data, termasuk resep, secara online.
Pada saat menunggu itu ada kejadian yang mengagetkan. Saya melihat seorang perempuan yang terbaring di pojok tempat pengambilan obat. Perempuan itu ditopang seorang lelaki yang tampak seperti suaminya.
Tidak lama kemudian, orang-orang mulai sadar dengan kejadian itu. Mereka terlihat khawatir akan keadaannya. Dari hasil pengamatan, saya tahu bahwa perempuan itu penderita epilepsi dan barusan dia kejang karena telat minum obat.
Para penunggu mempersilakan suami istri tersebut untuk pindah ke bangku duduk. Sang suami sepertinya sudah terbiasa dengan hal tersebut. Sebentar lagi juga nggak apa-apa, katanya.
Seorang ibu memberitahu si suami agar menyediakan obat tepat waktu. Sebelum habis, sebaiknya dia sudah meminta lagi ke pihak rumah sakit. Jangan sampai setelah obat habis baru ke RS. Beginilah akibatnya jika telat sedikit saja, si istri langsung kambuh. Ibu yang lain membantu berbicara pada petugas perihal ini, sehingga si istri bisa segera mendapatkan obatnya.
Kejadian luar biasa saat menjalani alur sistem rujukan ini memberikan ilmu baru bagi saya. Selain itu, sikap orang-orang yang perhatian pada sesama pun mampu menghangatkan hati. Betapa kebaikan masih bersemayam di nurani banyak orang.
Mendapatkan Hasil Rontgen
Meskipun sudah dapat memprediksi bahwa hasil rontgen belum keluar, tetapi setelah mengambil obat, kami kembali ke poli radiologi. Betul saja, hasilnya belum ada. Katanya itu akan selesai setelah Jumatan.
Saat itu baru sekitar pukul setengah sebelas, jadi kami memutuskan untuk pulang dulu. Di perjalanan ke rumah, kami sempat mampir ke kedai bakso sekitar Alun-Alun Tarogong. Semangkok bakso dan segelas es teh manis lebih dari cukup untuk mengembalikan semangat. Apalagi harga baksonya sepuluh ribu saja.
Setelah suami selesai Salat Jumat, kami kembali bertolak ke rumah sakit. Suasana siang itu agak lengang, tidak seramai tadi pagi. Bagian pengambilan rontgen di poli radiologi pun masih tutup.
Saat kami sedang menunggu, seorang petugas menghampiri. Saya tidak tahu pasti tugas dia sebagai apa. Namun, petugas itu dengan ramah menanyakan apa keperluan kami.
Setelah suami menjawab pertanyaan itu, si petugas meminta nomor, nomor apa pun katanya yang ada pada kami. Kemudian suami memberikan bungkusan obat yang tadi didapatkan dari instalasi farmasi.
Dengan berbekal nomor yang tertera di sana, petugas itu masuk ke ruangan di sebelah loket radiologi. Tidak lama berselang, dia keluar dengan membawa secarik kertas. Oh, ternyata digitalisasi di rumah sakit sudah berjalan cukup baik.
Sebelumnya, tanpa kertas resep, informasi obat sudah langsung terkirim dari ruang pemeriksaan ke instalasi farmasi. Kini data pengambilan hasil rontgen pun sudah terdata.
Kembali ke Fasilitas Kesehatan Tingkat 1
Saya takjub dengan bentuk hasil rontgen yang saya terima. Ini jauh dari apa yang saya bayangkan. Sebelumnya saya melihat hasil rontgen gigi adik ipar masih berbentuk salinan x-ray. Bentuknya seperti negatif film, tetapi dalam ukuran yang lebih besar.
Salinan yang saya terima adalah kertas biasa yang menampilkan barcode. Jadi, nantinya barcode ini akan di-scan oleh dokter gigi di faskes 1. Proses ini juga menjadi salah satu penerapan digitalisasi pelayanan fasilitas kesehatan.
Kembali ke tempat awal merupakan langkah terakhir dari alur sistem rujukan yang harus suami jalani. Sepertinya kalau tidak ada yang parah, dokter gigi faskes 1 dapat mengatasinya.
Hingga kini suami belum mendatangi lagi faskes tingkat 1, jadi saya belum bisa share lebih lanjut. Doakan semua berjalan lancar dan baik-baik saja, ya, Playmates.
Penutup “Alur Sistem Rujukan”
Jika kita mempunyai keperluan dengan instansi pemerintah, apalagi untuk pertama kalinya, hendaklah meluangkan waktu tidak terlalu mepet. Seperti yang saya alami saat harus menjalani alur sistem rujukan untuk menemani suami.
Kami hampir menyelesaikannya dengan dua kali kunjungan dalam waktu dua hari. Itu sebenarnya sudah tanya-tanya pada adik ipar yang telah lebih dulu harus dirujuk ke rumah sakit untuk rontgen gigi.
Sepertinya kalau kalian persiapannya lebih matang bisa saja semua proses bisa berjalan dengan lancar. Namun, fakta di lapangan selalu memberikan kejutan, jadi tidak ada salahnya meluangkan waktu lebih.
Dari pengalaman saya, alur sistem rujukan sekarang tidak terlalu ribet asal kita sudah paham dan kini hampir semua lini sudah menjalankan digitalisasi layanan. So, get ready to go online and say no to gaptek, ok?
Gen Z dan milenial harusnya tidak mengalami kendala terhadap itu. Untuk para generasi sebelumnya saya pikir harus berusaha lebih keras. Namun, itu bukan hal mustahil. Bapak saya pun meski agak terseok-seok tetap bisa mengikuti layanan kesehatan secara digital.
Kalian punya pengalaman terkait alur sistem rujukan, Playmates? Share di sini, yuk, pengalaman kalian pasti bermanfaat bagi kita semua. Sharing is caring, right?