With or Without

“Mungkin dia mandul.”

“Seorang wanita belum bisa disebut wanita kalau belum pernah melahirkan.”

“Suaminya masih muda, tampan, mapan, kalau aku jadi ibunya, pasti aku sudah menyuruh dia mencari wanita lain yang bisa memberikan cucu”

“Sudah sepuluh tahun nikah kok masih juga belum punya anak.”

Suara-suara itu berputar di dalam kepala Jasmin, semakin lama semakin nyaring memekakkan telinga. Dia mencoba menutup pendengaran, suara itu tak juga hilang. Kemudian dia membenamkan wajah di bawah bantal, tetapi suara itu terus mengikuti.

Sepuluh tahun berlalu, tetapi rumahnya belum diramaikan suara tangis bayi. Setiap ada teman atau keluarga yang hamil, hatinya berteriak dalam sunyi, “Kapan giliranku?” Suara dari mertuanya lebih kencang terdengar, “Mana cucu untukku?”

Suaminya, Adin, tidak pernah menanyakan atau menyalahkan. Justru dialah yang selalu menguatkan Jasmin, saat Jasmin merasa menjadi wanita tidak sempurna. Mereka telah berkonsultasi dan berobat, tetapi si buah hati belum mau menuntaskan rasa rindu. Malam-malam terasa panjang bagi Jasmin, tak satu malam pun berlalu tanpa air mata.

Tangan Jasmin bergetar setelah dia membaca pesan di grup Whatsapp keluarga Adin, sebuah undangan pertemuan tahunan. Matanya kosong menatap ke depan. Di pikirannya terbayang pertanyaan dan pernyataan tentang anak yang akan dilontarkan kepadanya.

Terdengar suara pintu dibuka dari luar kamar, kemudian diikuti derap langkah mendekat. “Jasmin! Jasmin! Kamu kenapa?” Adin bertanya lembut saat melihat istrinya melamun. Jasmin mengusap air matanya kemudian berlabuh dalam pelukan Adin.

Adin mengambil ponsel dari tangan Jasmin. Setelah membaca pesan yang tadi dibaca Jasmin, barulah dia mengerti alasan air mata itu terurai. Dia melepaskan pelukan Jasmin, kemudian tersenyum menguatkan.

“Kamu tidak bahagia menikah denganku?” tanya Adin pelan.

“Tentu saja aku bahagia?” jawab Jasmin dengan suara parau.

“Lantas kenapa setiap malam kamu menangis?” Pertanyaan Adin berikutnya dengan telak membuat otak Jasmin gaduh mencari jawaban, tetapi mulutnya tidak mampu bersuara.

“Aku tahu kamu merindukan kehadiran bayi, aku juga. Namun, aku tidak ingin satu harapan kita itu menghapus seribu karunia yang kita miliki. Cukup bagiku sepuluh tahun diam melihat sikapmu, kini waktuku untuk bilang ‘Cukup! Tak perlu meratapi nasib, kita akan tetap bahagia dengan ataupun tanpa kehadiran bayi.”’