Palung Sesal (Part 3)

Palung Sesal (Part 2)

Tiara terus mencoba menghubungi Dani, tetapi dari semalam ponselnya tidak aktif. Gadis itu mulai panik. Di memencet lagi nomor kontak Dani walaupun dia tahu itu sia-sia. Akhirnya dia menyerah dan menulis teks “Aku Hamil”. Pesan itu memang terkirim, tetapi tak pernah terbaca.

Malam-malam Tiara habiskan dengan memandang ponsel, berharap Dani menghubungi, memberi tahu ponselnya hilang atau ada keperluan mendadak di tempat terpencil tak bersignal. Dia menciptakan skenario-skenarionya sendiri. Tiara tidak mau membiarkan otaknya mengirimkan pesan-pesan bahwa Dani telah memperdayanya. Dia terus saja menyangkalnya.

Persiapan pernikahan telah selesai, tetapi Tiara belum mendapatkan kabar pembatalan dari Rezky. Air mata Tiara mengalir deras saat mengingat sosok calon suaminya itu. Segunung penyesalan serasa menindih dadanya. Di antara kegalauan hatinya, ponsel Tiara berdering, ada pesan masuk. Tiara segera membacanya, “Aku akan menikahimu”. Isi pesan itulah yang dia nanti-nantikan akan didapatnya dari Dani. Tiara menangis sesenggukan sampai sulit untuk bernapas. Butuh beberapa saat untuk membuat Tiara yakin bahwa Rezky yang mengirim pesan itu. Ini benar-benar skenario di luar nalarnya.

Esok paginya Tiara menumpang taksi menuju rumah orang tua Rezky. Dia hendak menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi. Gadis itu sudah siap menerima kemarahan mereka. Tiara sengaja datang pagi, karena saat itu Rezky pasti sudah pergi ke kantor. Kalau ada calon suaminya itu semua rencana pasti gagal.

Ibu Rezky menyambutnya dengan hangat. Calon mertuanya itu bisa dibilang tipe perempuan yang banyak bicara. Baru saja Tiara duduk, dia sudah ngobrol ini itu, hingga Tiara susah menyampaikan maksud kedatangannya.

“Akhirnya, ya Tiara, kamu dan Rezky sebentar lagi menikah. Ibu sudah nggak sabar. Rezky sayang banget loh sama kamu. Tiap hari kamu lagi kamu lagi yang diobrolin. Malah akhir-akhir ini dia jarang pulang. Dia fokus ngeberesin rumah kalian yang berada di dekat kantornya.”

“Rumah?” Tiara kaget.

Ibu Rezky masih terus berbicara, tetapi Tiara tidak bisa mendengarnya. Kejadian-kejadian selama dua bulan ini berputar di kepala. Dia baru mengetahui alasan Rezky akhir-akhir ini seperti tidak mempedulikannya. Dia salah memahami definisi cinta dalam diam yang sesungguhnya.

***

Hari pernikahan pun tiba. Rezky terlihat sangat bahagia. Tak ada yang tahu sebenarnya dia menyimpan lara. Setelah menikah, mereka menempati rumah baru itu. Rezky bersikap wajar, tak pernah mengungkit yang sudah berlalu. Setiap Tiara akan memulai pembicaraan penting, dia selalu bilang dia punya janji pada orang tua Tiara. Perempuan itu sama sekali tidak senang dengan sikap Rezky. Itu hanya membuatnya semakin bersalah.

Seminggu setelah Tiara melahirkan bayi laki-lakinya, Rezky menemukan sepucuk surat di meja kamar.

Mas, kalau kamu baca surat ini, berarti aku sudah pergi, pergi jauh. Aku pun tak tahu akan pergi ke mana. Aku hanya tak ingin lagi berada di dekatmu. Aku tak sanggup, Mas. Aku tidak punya keberanian untuk sekadar menatap matamu. Aku merasa menjadi manusia kerdil dan hina di hadapanmu. Mungkin ini terdengar klise, tetapi aku memang tak pantas bersanding denganmu karena kamu terlalu baik untukku, terlalu sempurna bagiku.

Maafkan aku, Mas. Aku tak bisa melihat ketulusan dimatamu, mengabaikan semua perjuanganmu, tak mengindahkan kesungguhanmu. Aku malah tertarik pada fatamorgana kehidupan yang membuatku terlena, lebih memilih berpihak pada kesenangan sesaat yang menyesatkan. Aku tahu tidak ada lagi gunanya menyesal. Aku sudah menghancurkan kepercayaanmu, hatimu, harga dirimu, juga mengobrak-abrik masa depanmu, dengan tanganku sendiri.

Andaipun kamu tidak memaafkanku, aku mengerti. Kesalahanku memang besar dan fatal. Begitu besar perjuanganmu untuk menutupi kesalahanku agar kelurga kita tidak tahu. Aku sangat berterimakasih, tetapi aku tidak bisa lagi hidup seperti ini. Melihatmu setiap hari hanya membuatku sulit untuk bernapas. Aku samakin sulit memafkan diriku sendiri atau aku memang tidak akan pernah bisa berdamai dengan kesalahanku. Saat menulis surat ini aku tak berhenti menangis, meratapi kebodohanku.

Mas, aku pergi sendiri. Aku tak membawa bayiku. Aku dengan lancangnya memintamu untuk merawatnya karena aku tahu kamu pasti jadi ayah yang hebat. Aku tak ingin dia punya ibu sepertiku, seorang wanita yang tak mampu menjaga harga dirinya. Bersamamu, aku yakin dia akan tumbuh menjadi laki-laki yang bertanggung jawab, sepertimu.

Semoga kalian selalu berbahagia. Biarlah aku menjalani hari-hariku sendiri karena bagiku kini memang tak ada yang tersisa, selain aku dan palung sesal.

TAMAT