Lara Lana

“Mak, gue udah kirimin siomaynya. Ditunggu, ya,” kata Gita, salah satu talent di management yang kudirikan.

“Siap. Makasih banyak, ya, Say,” timpalku senang.

Tak berselang lama makanan itu kuterima. Bukan satu dua kali aku menerima kiriman dari para talent. Ada yang mengirimkan sample jualan, oleh-oleh dari luar kota, bahkan ada yang menyengajakan membelikanku barang. Memang kebanyakan bukan sesuatu yang mahal, tetapi apa yang mereka lakukan cukup membuktikan bahwa aku berhasil menjadi seorang leader yang dicintai.

Namaku Lana, seorang Cina peranakan. Dengan tampilan fisik yang menjadi identitasku, aku lebih mudah membangun rasa percaya dari para talent. Mereka percaya saja saat aku mengatakan bahwa aku tinggal di rumah mewah seharga 8M, pergi ke sana- kemari menggunakan mobil mahal, serta memiliki brankas uang dan perhiasan di rumah.

Awalnya aku bergabung dengan sebuah komunitas penambah follower di salah satu platform media sosial. Mereka mempunyai grup chat dan aku cukup aktif di sana. Dari sekadar basa-basi sampai sharing sesuatu yang dirasa bermanfaat. Keaktivanku di grup membuat hampir semua anggota mengenalku.

Suatu hari aku mendapat broadcast pesan dari sebuah management tentang sharing sebuah job di media sosial. Dari sana aku melihat sebuah peluang. Dengan kemampuan komunikasi yang baik dan pembawaan supel, aku dengan mudah mendapatkan link sharing job medsos dari sebuah management yang cukup besar. Kemudian aku pun mendirikan managament, tempat aku men-share info job medsos dari management yang lebih besar. Untuk para anggota awal, aku merekrut sesama member di komunitas penambah follower. Dalam satu tahun saja aku mampu mengelola sebuah management yang cukup diperhitungkan.

***

“Udah ada yang cair belum?”

“Apaan?”

“Cuan lah!”

“Itu kan punya talent.”

“Berarti ada kan? Sini!’

“Aku nggak bisa ….”

Kata-kataku menggantung. Aku tak sanggup meneruskan demi melihat raut muka suamiku yang tiba-tiba mengeras. Aku tahu satu kata lagi yang keluar dari mulutku pasti membuat dia mengamuk. Lebam di pelipis dan lenganku yang masih terasa nyeri cukup menjadi alasan berpindahnya uang dari dompetku ke dompetnya.

Setelah mendapatkan apa yang dia mau. Lelaki yang juga Cina peranakan itu melesat menemui kawan-kawannya untuk berjudi. Dia selalu meyakinkanku untuk tidak merasa khawatir karena katanya uang yang aku keluarkan akan kembali berkali-kali lipat. Namun, kenyataannya aku terus saja mengeluarkan uang tanpa ada yang kembali sepeser pun.

Celakanya uang yang aku keluarkan itu adalah fee para talent di management. Suamiku merampas uang dari fee sebuah job, lalu aku membayar talent dengan fee dari job lain. Terus saja seperti itu sampai kepala rasanya mau pecah. Aku menutupi satu kebohongan dengan kebohongan lain sampai tak tahu lagi bagaimana rasanya tidur dalam lelap.

***

Lebih dari setahun sebelumnya …

Aku memasukkan beberapa nama ke dalam sebuah aplikasi untuk kocokan arisan. Aku terus mengulang kocokan hingga namaku yang keluar. Saat namaku sudah keluar, aku mengirimkan hasil kocokan ke grup teman-teman SMA. Aku berinisiatif mengajak mereka mengadakan arisan dengan bujukan agar bisa terus terhubung meskipun telah tinggal di daerah yang berbeda. Ya, aku mengajak mereka bergabung dengan arisan online yang aku kelola. Dengan reputasi baik saat sekolah dulu, aku berhasil mengajak puluhan teman untuk bergabung.

Di awal aku menciptakan citra sebagai orang yang menjunjung tinggi amanah dan tanggung jawab. Hingga saat aku telah mendapatkan uang dari hasil kocokan dua nama yang kuikutsertakan, pelan-pelan aku menghilang.

Aku mengaku sakit keras hingga harus banyak istirahat. Semakin lama kebohonganku semakin berkembang. Dari mulai aku yang mengidap penyakit kanker, anak yang diguna-guna, dikhianati rekan bisnis, hingga suami jatuh ke jurang.

Pada awalnya teman-temanku bersimpati dan memaklumi jika aku telat mengocok arisan. Namun, lama kelamaan mereka curiga dan saat kekacauan meledak, aku telah sempurna menghilang. Tanpa mereka tahu, kemudian aku mendirikan sebuah management dengan wajah yang tak pernah dipublikasikan di medsos.

***

Aku tak tahu di mana aku terdampar. Yang dapat kulihat hanya warna putih menghampar. Aku berlari ke sana-kemari hingga berputar-putar, tetapi semua masih samar. Malah semakin lama pemandangan putih yang terlihat itu semakin memudar. Aku mencoba berteriak, tetapi takada suara yang keluar. Aku panik dan mulai melompat-lompat dengan barbar. Dengan sengaja aku membenturkan kepala ke lantai agar tersadar.

Bukan pertama kali aku bermimpi aneh seperti itu. Takada apa-apa, hanya diriku. Kesunyian, kesepian, kekosongan, dan kehampaan di mimpiku lebih menakutkan dari rumah angker dan setan dari jenis apa pun. Dengan tangan yang bergetar, kuusap peluh di dahi.

Sejak aku kabur membawa uang arisan teman-teman, mimpi buruk itu kerap muncul. Kini saat aku keteteran perihal fee job, mimpi yang menyesakkan dada itu semakin sering muncul.

***

“Mak, fee hand sanitizer itu udah cair?”

“Belum.”

“Masa, sih? Di MG (management) sebelah udah cair dari minggu lalu, loh.”

“Kalau nggak percaya, pindah aja ke MG itu. Nih, ya, kalau tu fee udah cair gue pasti langsung infoin. Kapan sih gue nahan-nahan fee kalian?”

“Kalau fee susu UHT gimana, Mak? Job itu sudah selesai dari bulan lalu, masa sampai sekarang belum cair juga?”

“Jangan kayak orang baru, deh. Fee job kan bisa turun berbulan-bulan, yang tiga bulan baru cair juga banyak. Kalian nggak percaya sama gue?”

“Bukan gitu, Mak. Kita cuma konfirmasi aja.”

“Nih, ya, gue nggak butuh uang recehan elu pada. Sekali berobat aja, gue abis jutaan. Tenang ajalah nanti juga kalau cair langsung gue kasihin. Gue istirahat dulu, ya. Kalau ada apa-apa hubungi admin yang lain dulu. Kepala pusing banget, ni juga mimisan lagi. Kata dokter, gue harus banyak istirahat.”

Aku melakukan pola yang sama dengan kasus arisan SMA. Saat para talent-ku mulai curiga, aku kembali berpura-pura sakit keras. Ponsel yang telah kumatikan, aku lempar ke atas kasur. Kakiku terasa lemas tak berdaya dan perlahan tubuhku jatuh bersimpuh di ujung tempat tidur.

Pikiran kacau dan tubuh memar menjadi kombinasi sempurna yang membuatku semakin merana. Sedari awal aku memang mengadakan arisan dan membangun management dengan niat yang kurang baik. Keduanya aku jadikan dana talang saat suami tidak bisa memberikan nafkah selayaknya karena kegemaran judi. Tadinya semua berjalan lancar. Hanya sedikit saja yang aku pinjam, saat ada uang lebih aku segera menggantinya. Namun, petaka itu kemudian datang. Suami mengecek ponselku lalu mengetahui aku mengadakan arisan online. Dia terus menerus meminta uang dengan jumlah yang tidak bisa lagi kuatasi.

Aku tak pernah berharap hubunganku dengan kawan-kawan SMA berakhir dengan buruk. Namun, sudah sewajarnya kalau kini aku menjadi buronan mereka. Tidak lama lagi, aku yakin aku akan jadi buronan para talent-ku juga. Meskipun dengan niat kurang baik, aku menjalankan management cukup baik dan menciptakan bonding dengan semua talent.

Saat sedang berkelana di rimba lamunan, tiba-tiba pintu kamar didorong dengan kasar. Lelaki dengan rambut acak-acakan menerobos masuk. Dia mengangkat tubuhku dengan sekali tarikan. Suamiku meminta uang lagi. Entah punya kekuatan dari mana, aku mendorong tubuhnya sekuat tenaga. Hal itu membuat dia semakin marah dan berujung bertambahnya memar dan lebam di tubuhku.

***

Lama aku berdiri, menatap rumah sederhana yang setahun ini kutempati. Aku terpaksa pindah dari kontrakan ini untuk menghindar dari kejaran para talent. Sebelumnya, aku pindah ke sini saat masalah arisan online tak bisa lagi kutangani. Kini saat management-ku goyah, aku harus pindah lagi.

“Ayo cepat! Malah melamun,” bentak suamiku yang membuyarkan lamunan.

Aku menyeret koper dengan sebuah pertanyaan yang membuat langkah terasa berat. Kapankah semua ini akan berakhir?

TAMAT