Janji Menanti

Oleh: Monica Rasmona

Cinta adalah suara. Ia akan menggaungkan nada-nada indah melenakan. Berawal dari bisik-bisik mengusik yang kemudian menjelma menjadi riuh yang tidak bisa dibunuh. Ia membutuhkan ruang bebas untuk terbang lepas, membumbung tinggi ke langit tak berbatas. Cinta tak kan bisa dikungkung dalam jeruji, ia akan selalu mencari celah untuk membuat nyata semua imaji. Bila masih memaksa memenjarakannya, bersiaplah dengan ledakannya.

Malam itu bak malam bertuah bagi Shakila, dia ketahuan berdiam diri di tenda, sementara teman-temannya bergotong royong saling berbagi tugas membereskan dan membersihkan lingkungan tempat mereka berkemah, selepas acara api unggun. Sebagai hukuman, dia diharuskan mencari ranting pohon ke dalam hutan, sendirian.

Sepanjang perjalanan, Shakila terus mengeluh. Dia merasa hukumannya tidak setimpal dengan apa yang telah dia lakukan dan buat apa pula ranting pohon itu? Memasak pun sekarang sudah memakai kompor khusus untuk camping, sudah bukan zamannya memasak dibantu ranting dan batu.

Ketika sedang asyik menggerutu, dia tiba-tiba menghentikan langkah, matanya tidak berkedip memandang sekelebat bayangan putih. Embusan angin terasa dingin menerpa belakang leher, dia bersiap untuk berlari, tetapi kemudian,

“Shakila!” Sebuah suara memanggil namanya.

“Ya?” refleks dia menjawab, sambil keheranan hantu mana yang tahu namanya.

Suara langkah kaki terdengar mendekat, Shakila menahan napas menunggu sosok itu. Dia sangat ingin berlari sekencangnya tapi rasa takut menahan kaki untuk beranjak.

“Kamu sedang apa di sini?” Suara tadi kini memiliki raga. Seorang laki-laki tegap berumur  dua puluh lima-an.

“Pak Aldi?” Shakila kaget bercampur lega, ternyata itu guru olahraganya.

“Ya ampun, Pak, aku kira tadi….”

“Hantu?” tebak Aldi kemudian tertawa geli.

“Ih bukan, aku kira binatang buas,” elak Shakila.

Sejak masuk SMA sampai sekarang duduk di kelas tiga, Shakila sangat mengidolakan Aldi. Shakila cukup ekspresif mengungkapkan perasaan, sehingga teman-temannya tahu bahwa dia menyukai Aldi, dan Aldi pun sepertinya tahu hal itu, tetapi dia bersikap biasa saja.

“Oh, jadi kamu sedang dihukum?”

“Iya Pak, masa Cuma gara-gara diem di tenda, dihukum nyari ranting segala?”

“Wajar lah biar kamu disiplin dan teman-temanmu pun tidak menirunya.”

“Kok Bapak….” Shakila masih tidak terima.

“Sudah, sudah, ayo cepat kumpulkan rantingnya, biar saya bantu.”

“Bapak sendiri sedang apa di sini?” Shakila tidak bisa menutupi rasa antusiasnya.

“Saya sedang mengecek track untuk penjelajahan hutan besok,” Aldi menjawab kalem.

“Emang besok kita…. Aw, aduuhh!” Shakila menjerit kesakitan, kakinya tergelincir, tak dilihatnya jalan di depan agak menurun.

“Kamu enggak kenapa-kenapa? Wah ini sih terkilir,” seru Aldi sambil memeriksa kaki Shakila, “Makanya kalau jalan itu yang benar,” lanjutnya.

Sepanjang perjalanan kembali ke perkemahan, Aldi menggendong Shakila dipunggungnya. Dia terus mengomeli Shakila karena tidak hati-hati, Shakila hanya tersenyum, menikmati setiap langkah dan omelan Aldi. Shakila rela kaki satunya juga terkilir agar bisa lebih lama digendong Aldi.

***

Sejak kejadian malam itu, Shakila yakin cintanya pada Aldi tidak bertepuk sebelah tangan. Tatapan dan gesture Aldi tidak bisa menyembunyikan apa yang dia rasa. Shakila menjadi lebih bersemangat berangkat ke sekolah. Dia bertanya-tanya kapan Aldi akan mengungkapkan perasaan dan jika itu terjadi, dia harus menjawab apa, menerimanya atau pura-pura jual mahal? Shakila cekikikan, asyik berkelana di pikiran sendiri.

Akan tetapi, tak ada satu pun lamunan Shakila yang menjadi nyata. Di sekolah, Aldi bersikap wajar, dia mengajar seperti biasa, saat berpapasan dengan Shakila pun dia tidak menunjukkan sesuatu yang istimewa. Semua berjalan seperti hari-hari sebelumnya, Aldi menjalankan perannya sebagai guru olahraga yang hangat kepada semua murid, tidak ada perlakuan berbeda untuk muridnya yang bernama Shakila. Kejadian saat perkemahan itu seolah tidak pernah terjadi.

***

HARI KELULUSAN

Mereka berdiri saling berhadapan di lorong kelas yang sepi, keduanya mematung tanpa kata. Terlalu banyak hal yang ingin disampaikan, sehingga keduanya tidak tahu harus memulai dari mana. Akhirnya si Perempuan yang pertama bersuara.

“Aku sudah tidak kuat.”

“Sudah tidak kuat bagaimana? Saya tidak mengerti.”

“Ah, sudah lah aku capek dengan semua kepura-puraan ini.”

“Saya semakin tidak mengerti dengan apa yang kamu katakan.”

Wajah Shakila memerah, amarah terlihat jelas di sana. Matanya digelayuti cairan bening yang hampir jatuh, dengan sekuat tenaga ia menahan agar cairan bening itu tetap bertahan. Namun, hatinya tidak cukup kuat untuk menahan gempuran perasaan yang terus meneror, pertahanannya pun ambruk, Shakila menangis tersedu-sedu.

“Shakila…,” lirih Aldi, sambil maju mendekat. Logika menyuruh ia diam di tempat, tetapi perasaan membisikkan untuk memeluk Shakila, membelainya, menenangkannya.

“Stop! Jangan mendekat!” hardik Shakila, Aldi terkejut kemudian dia berhenti melangkah, tetap menjaga jarak dari Shakila.

“Kamu kenapa Shakila?”

“Jangan bertanya lagi! Aku tidak tahan mendengarnya,” ujar Shakila agak berteriak.

“Saya tidak….”

“Jujur lah!” ucap Shakila lirih, “Tidak mungkin kamu tidak mengetahui apa yang kurasakan,” Shakila menyingkirkan perasaan tidak enak yang dirasakan telinganya, saat mulutnya sendiri mengatakan aku-kamu kepada orang di depannya, dia tidak ingin lagi ada basa-basi saya-Bapak diantara mereka.

“Ada hal-hal yang tidak perlu diperjelas dan dikatakan Shakila, kamu masih terlalu muda untuk memahaminya,” ujar Aldi lembut.

“Omong kosong,” sergah Shakila.

Aldi tersenyum, “Baiklah, kalau memang kamu ingin semuanya jelas,” Aldi menarik napas panjang, kemudian dia melanjutkan, “Saya memang tahu apa yang kamu rasakan dan….” Kalimat Aldi terhenti, dia menggantungkan kata-kata di udara, mencoba memilih kata mana yang paling tepat dia ucapkan.

“Terus?” potong Shakila tidak sabar.

“Dan saya pun merasakan hal yang sama,” sambar Aldi cepat, dia ingin segera mengakhiri percakapan itu.

Ada jeda panjang di antara mereka, keduanya terdiam, berusaha mengendalikan seluruh rasa yang membuncah di dada. Perasaan yang selama ini dengan susah payah ditutupi, sekarang seolah berhamburan keluar dari benteng pertahanan yang mereka buat.

“Kamu masih muda, Shakila, jalanmu masih panjang. Esok lusa bisa saja apa yang kamu rasakan menghilang dan hanya menjadi kenangan cerita masa SMA saja, tidak lebih. Berbeda dengan saya yang memang sudah sampai pada tahap seharusnya mempunyai hubungan serius,” Aldi mencoba menjelaskan posisinya dengan bahasa yang paling sederhana.

“Lantas kenapa kita tidak menikah saja? Aku sudah lulus,” Shakila tidak terima dengan apa yang dikatakan Aldi dan menganggapnya hanya alasan saja.

“Tidak semudah itu, sungguh tidak semudah itu. Ayahku sudah tiada, saya punya ibu dan adik-adik yang masih harus saya biayai. Untuk saat ini menikah bukan prioritas saya,”
Shakila tersedu, makin lama tangisnya makin pilu. Aldi menahan diri untuk tak mendekat.

“Mungkin sekarang terasa berat, tapi percayalah kamu akan menemukan hal baru dan seru di kampus nanti, bahkan bisa saja nanti kamu malah menertawakan tangismu saat ini,” Aldi berusaha menghibur, tetapi tampaknya itu gagal. Bukannya berhenti menangis, isak Shakila malah makin menjadi.

Aldi terdiam lagi, membiarkan hatinya yang berbicara. Setelah dia memahami apa yang hatinya rasakan dan inginkan, Aldi kembali bersuara,

“Jalani hidupmu dengan baik, Shakila. Raihlah cita-citamu, nanti setelah kamu lulus kuliah atau sudah menikmati dunia kerja, carilah saya. Saat itu pasti saya sudah siap.” Aldi melangkah mendekati Shakila. Jarak dua meter di antara mereka terasa jauh, tiap langkah yang Aldi ambil bergerak lambat. Aldi berhenti saat mereka berdiri sejajar, tetapi tidak berhadapan.

“Itu pun kalau kamu masih merasakan apa yang kamu rasakan sekarang, tidak ada yang bisa menjamin kamu akan menang melawan waktu.” Aldi meneruskan langkahnya, mantap dan tidak pernah menoleh lagi. Sementara Shakila jatuh tersungkur dalam sedan, mengepalkan tangan dan bertekad akan memenangi pertempuran ini.