Semenjak novel “The Da Vinci Code” booming, saya langsung menjadi penggemar berat Dan Brown. Rasanya yang Mr. Brown tawarkan itu semua yang saya suka. Sebenarnya saya bisa baca semua genre buku, tetapi thriller misteri selalu menjadi yang paling favorit. Yuk, terusin bacanya sampai akhir biar kalian tahu harga novel Origin Dan Brown, Playmates.
Saya tahu “The Da Vinci Code” itu pas SMA, tetapi baru membacanya beberapa tahun kemudian. Viral-nya “The Da Vinci Code” membuat karya Dan Brown yang lainnya pun terangkat. Setelah judul itu, saya lanjut membaca “Angels and Demons”.
Di kedua cerita itu, Robert Langdon menjadi tokoh utama. Uniknya, ternyata “Angels dan Demons” terbit lebih dulu dari “The Da Vinci Code”. Setelah itu, saya membaca “The Lost Symbol”, “Inferno”, dan “Origin”.
Kelima judul yang saya sebutkan di atas menampilkan Robert Langdon dan dia ditemani seorang rekan perempuan yang berbeda-beda dalam setiap misinya. Selain lima judul itu, ada dua lagi, yakni “Digital Fortress” dan “Deception Point”. Untuk dua yang terakhir ini tidak menceritakan Profesor Langdon.
Plot karya Dan Brown itu biasanya mirip. Terjadilah suatu pembunuhan yang melibatkan sebuah organisasi rahasia. Sang algojo merupakan orang yang sudah dicuci otaknya. Mr. Brown akan membuat kita tercengang saat aktor intelektual pembunuhan itu terkuak.
Meskipun alur di novelnya hampir sama, tetapi saya sama sekali tidak bosan. Dan Brown selalu menceritakan lokasi, sejarah, sains, seni, dan organisasi yang berbeda. Yang paling menarik tentu karena Mr. Brown menggabungkan fiksi dan fakta.
Untuk pengalaman membaca semahal ini pastinya kalian akan berani membayar lebih dari biasanya untuk harga novel Origin karya Dan Brown. Sebenarnya saya ingin membahas semua, tetapi untuk kali ini kita bahas “Origin” dulu, ya, Playmates.
Deskripsi Buku
- Judul : ORIGIN
- Penulis : Dan Brown
- Penerjemah: Ingrid Dwijani Nimpoeno, Reinitha Amilia Lasmana, Dyah Agustine
- Tebal: 516 Halaman; 23,5 cm
- Penerbit : Bentang Pustaka
- Cetakan Pertama, November 2017
Harga Novel Origin Dan Brown
Dari sejak cetakan pertamanya di tahun 2017, novel ini sudah bertengger manis di rak buku keluarga. Namun, setelah menikah, saya mengalami beberapa kali fase enggan untuk membaca buku. Alhasil baru tahun 2024 lah, saya menamatkannya setelah pernah membaca bagian awal Origin ini beberapa tahun silam.
Jeda ini cukup panjang, mengingat sebelum 2017 saya sudah membaca enam judul karya lainnya. Sekarang saya mulai merasakan gairah membaca kembali membara, jadi “Origin” yang tebal dan besarnya nggak kepalang pun bisa saya selesaikan dalam waktu relatif singkat.
Saya sudah cek Toko Oren untuk mengecek harga novel Origin Dan Brown ini, tetapi malah toko-toko yang menawarkan buku second-nya yang muncul. Kemudian lanjut cek Toko Biru, di sana terpampang harga sekitar 300.000-an. Harga ini tidak jauh berbeda dengan harga novel Origin yang adik saya beli pada tahun 2017.
Sinopsis “Harga Novel Origin Dan Brown”
Edmond Kirsch merupakan seorang ahli komputer sukses asal Amerika. Dia bermaksud mengumumkan temuannya tentang dari mana asal kita dan kemana kita akan pergi. Sebelum pengumuman itu, sang ilmuwan menemui tiga tokoh agama besar di Perpustakaan Montserrat.
Ketiga tokoh agama tersebut baru saja menghadiri Parlemen Agama-agama Dunia. Oleh karena itu, Kirsch memanfaatkan kesempatan itu untuk men-spill temuannya. Hal ini agak ganjil mengingat ilmuwan itu seorang ateis.
Kirsch berdalih ingin mengetahui pendapat mereka sebagai pemuka agama sehingga mendapatkan gambaran mengenai respons umat beragama nantinya. Ketiga pemuka agama itu adalah Uskup Antonio Valdespino, Rabi Yehuda Koves, dan Sayed Al Fadl.
Kirsch yakin temuannya itu tidak hanya akan mengguncang fondasi agama, tetapi juga menghancurkannya. Sejalan dengan itu, ketiga pemuka agama pun merasa harus menghentikan Kirsch.
Setelah pertemuan itu, Valdespino mengancam Kirsch akan mendahului sang ilmuwan merilis temuan tersebut dengan narasi yang bertolak belakang. Sewaktu di Montserrat, Kirsch mengatakan akan mengumumkan temuan itu seminggu kemudian, nyatanya dia akan persentasi empat hari lebih awal.
Robert Langdon dan Edmond Kirsch
Edmond merupakan mahasiswa Profesor Langdon saat masih berkuliah di Universitas Harvard. Ikatan dosen-mahasiswa itu kemudian berkembang menjadi pertemanan. Sang ilmuwan sering mengajak Langdon berdiskusi tentang banyak hal.
Kedekatan ini pulalah yang membuat sang profesor terbang ke Spanyol untuk memenuhi undangan Kirsch. Langdon menjadi salah satu tamu undangan di acara presentai temuan Edmond Kirsch di Museum Guggenheim, Bilbao.
Robert Langdon tidak hanya menjadi tamu, dia juga muncul di video persentasi temuan Kirsch. Namun, Landon belum mengetahui apa penemuan Kirsch perihal dari mana asal kita dan kemana kita akan pergi.
Sebelum persentasi, Edmond meminta untuk bertemu Robert secara pribadi di sebuah ruang spiral di museum. Sang profesor melihat mantan mahasiswanya itu pucat dan lebih kurus dari sebelumnya. Edmond memberitahunya bahwa dirinya mendapatkan pesan ancaman dari Uskup Valdespino, tetapi sang profesor memintanya untuk tidak khawatir.
Akhir dari Zaman Agama?
Edmond menyiapkan persentasinya dengan cermat. Seorang perempuan bernama Ambra Vidal membantu persiapannya. Dia bukan hanya direktur Museum Guggenheim, tetapi juga seorang calon ratu Spanyol. Pangeran Julian melamarnya di sebuah acara siaran langsung di televisi.
Daftar tamu telah dikunci, tetapi beberapa menit sebelum acara Ambra mendapat kabar penting dari stafnya. Dia memberitahukan bahwa ada telepon dari istana yang meminta memasukkan sebuah nama pada acara tersebut.
Tanpa pertimbangan matang, sang calon ratu memasukkan nama Luis Avila dalam daftar tamu. Lelaki itu merupakan seorang mantan laksamana angkatan laut yang diberhentikan karena kecanduan alkohol setelah keluarganya tewas dalam sebuah peristiwa pengeboman di sebuah gereja.
Semua tamu undangan mendapatkan earphone yang menjadi pemandu mereka selama di museum. Akhir-akhir ini Edmond mengembangkan teknologi kecerdasan buatan sehingga tidak mengherankan jika dia mengganti pemandu manusia dengan komputer.
Robert Langdon takjub dengan pemandu komputernya yang bernama Winston. Komputer itu menjelaskan mengenai beberapa karya seni, seperti lukisan The Swimming Pool karya Yves Klein dan The Matter of Time karya Richard Serra. Selain memiliki wawasan mahaluas, tentunya pemandu komputer lebih efisien karena tidak lagi memerlukan banyak orang.
Edmond menyulap sebuah ruangan di museum menjadi layaknya alam terbuka lengkap dengan rumput dan gemintang. Setiap tamu mendapatkan selimut untuk berbaring sambil menyaksikan video persentasi sang ilmuwan.
Video itu berisi tentang pemaparan Kirsch tentang orang-orang masa lalu yang kerap menciptakan dewa-dewi untuk menjelaskan sebuah fenomena. Namun, semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dewa-dewi itu kini tampak usang.
Kita tidak lagi menganggap Poseidon sebagai alasan air pasang karena kita sudah tahu siklus bukanlah yang menyebabkan itu. Namun, dewa-dewi itu pergi bukan tanpa perlawanan. Mereka kembali dalam bentuk lain dalam kemasan agama.
Langdon muncul dalam video tersebut memberikan penguatan. Dia mengatakan bahwa kini segalanya berbeda, manusia berevolusi secara intelektual dan berkeahlian teknologi. Ironisnya, makhluk modern itu berpegang teguh pada agama yang menyertakan segala macam pernyataan ajaib.
Persentasi Berdarah
Setelah video presentasi itu berhasil, Kirsch muncul di antara para tamunya. Dia menjanjikan sebuah penemuan yang akan mengubah paradigma banyak orang. Dia mengklaim bahwa temuannya ini akan menjadi awal berakhirnya zaman agama.
Sebelum itu terjadi, seseorang menembak kepala sang ilmuwan di depan umum, di hadapan para tamunya dan para penonton online di seluruh dunia. Beberapa detik sebelumnya, Langdon yang mendapatkan peringatan dari Winston, mencoba menjangkau Kirsch. Namun, dia terlambat.
Ambra Vidal yang berada tidak jauh dari Kirsch terguncang atas pembunuhan itu. Salah satu dari dua Guardian Real (pengawal kerajaan)-nya berusaha mengejar sang penembak. Satunya lagi mengamankan Robert Langdon karena profesor itu membuat gerakan sesaat sebelum tembakan. Dia mencurigainya terlibat. Tiba-tiba saja suasana berubah menjadi kacau.
Salah satu agen yang bernama Fonseca mencoba mencari informasi dari Langdon. Langdon yang masih menggunakan headset pemandu memberi tahu sang agen bahwa penembak itu bernama Luis Avila. Ambra yang mendengar nama itu langsung mematung karena merasa dia yang menambahkan si penembak di daftar tamu.
Pangeran Julian meminta dua agen untuk membawa Vidal dan Langdon ke istana demi keamanan mereka. Namun, keduanya malah kabur dalam misinya memecahkan sebuah sandi yang menyimpan rekaman hasil temuan Kirsch.
Vidal dan Langdon merasa harus berusaha meneruskan presentasi Kirsch sebagai penghormatan terakhir. Sebelum pembunuhan ini, Luis Avila pun telah menghabisi Seyd Al Fadl yang menjadikan merajalelanya teori konspirasi perihal adanya pihak yang berupaya menggagalkan rilisnya temuan Kirsch.
Pelarian Demi Sebuah Kata Sandi
Ambra Vidal dan Robert Langdon berusaha meninggalkan Bilbao menuju Barcelona, tempat kediaman Kirsch. Winston si kecerdasan buatan yang mengatur segala apa yang mereka butuhkan. Mulai dari taksi air, pesawat jet pribadi, hingga mobil mewah.
Sebelum presentasi, Edmond banyak menghabiskan waktu dengan Ambra untuk persiapan. Sehingga perempuan itu tahu bahwa Edmond telah merekam hasil temuannya di sebuah perangkat yang telah dia kunci dengan sebuah kata sandi. Kata sandi tersebut terdiri dari 47 karakter dan berupa puisi favoritnya.
Oleh karena itulah mereka harus ke Barcelona untuk mencari petunjuk. Selama ini, Edmond yang orang Amerika tinggal di sebuah apartemen unik bernama Casa Mila. Apartemen tersebut merupakan rancangan arsitek kebanggaan Barcelona, Antonio Gaudi.
Robert dan Ambra berhasil sampai di apartemen Edmond. Mereka menyisir perputakannya untuk mencari buku puisi, tetapi nihil. Padahal Guardian Real dan Luis Avila terus memburu mereka.
Situasi semakin genting setelah pihak kerajaan mengumumkan bahwa sang calon ratu diculik oleh profesor Harvard tersebut. Selain itu, Ambra dan Robert kehilangan koneksi dengan Winston karena perangkatnya rusak.
Meskipun Robert Langdon dan Ambra Vidal tidak menemukan buku puisi di apartemen Edmond, tetapi mereka menemukan sebuah petunjuk. Petunjuk itu berupa Kartu peminjaman yang menyebutkan bahwa Edmond menitipkan buku puisi The Complete Works of William Blake di sebuah gereja bernama La Sagrada Familia.
Berhasilkah Landon dan Vidal sampai di gereja yang juga rancangan Gaudi itu dan memecahkan kata sandinya? Selain kata sandi, mereka pun harus menemukan keberadaan Winston di tempat aslinya untuk memasukkan kata sandi tersebut.
Masih banyak lagi misteri yang belum terungkap. Siapa aktor intelektual di belakang Luis Avila? Apakah Pangeran Julian dan Uskup Valdespino terlibat dalam pembunuhan Kirsch? Dan bagaimana kabar satu orang lagi pemuka agama yang mengetahui perihal temuan Kirsch, Yehuda Koves?
Ulasan “Harga Novel Origin Dan Brown”
Setiap selesai membaca karya Dan Brown, saya selalu merasa menjadi makhluk cerdas. Terasa sekali pengetahuan yang melimpah menyerbu diri ini. Ya, walaupun beberapa hari kemudian detail-detail cerita banyak yang tergerus urusan domestik, macam gimana, nih, biar anak lahap makannya?
Entah bagaimana harus mengungkapkannya bahwa saya begitu menyukai novel-novelnya yang sering mengisahkan benturan antara agama dan ilmu pengetahuan ini. Walaupun begitu, sebagai orang beragama, saya merasa buku-bukunya tidak mengusik keimanan saya. Lagipula seringnya benturan itu terjadi dengan agama lain, bukan agama yang saya anut.
Dari awal membaca, saya sudah penasaran dengan penemuan Edmond Kirsch perihal dari mana kita berasal dan kemana kita akan pergi. Setelah tahu, ternyata penemuan itu berkaitan dengan teknologi yang bisa direkayasa. Hal yang sama sekali tidak terlintas di pikiran saya. Namun begitu, pasti untuk menemukan alur cerita tersebut, Dan Brown pasti bekerja keras.
Otak di balik pembunuhan Edmond pun benar-benar mengejutkan. Saya sempat curiga padanya, tetapi saya buru-buru mengenyahkan kecurigaan itu. Rasanya tidak mungkin bahwa dia bisa berpikir sendiri atas keinginan sendiri. Bingung, ya, Playmates? Pokoknya gitu, deh, khawatir spoiler saya.
Meskipun pola ceritanya hampir mirip dengan novel-novel karya Dan Brown lainnya–misal bahwa sang algojo itu pasti merupakan orang yang telah dicuci otaknya–saya tetap menempatkan karyanya di salah satu tahta tertinggi buku favorit sepanjang masa.