Filosofi Ketupat: Makna Perilaku Empat yang Jarang diketahui

Malam ini tak seperti malam-malam sebelumnya. Suara takbir dan kembang api memenuhi alam raya. Aku sama sekali tidak terganggu dengan keriuahan yang tercipta. Justru ini merupakan momen mahal yang ditunggu-tunggu.

Aku pergi duluan ke rumah nenek, sementara orang tuaku baru akan tiba besok pagi. Aku suka berada di kampung karena banyak saudara yang berkumpul. Seperti malam itu, semua duduk melingkar dan di tengah-tengah ada beras yang telah dicuci serta daun kelapa muda.

Saudara-saudara yang dewasa dengan lincah menganyam daun itu, lalu memasukkan beras ke dalamnya. Mataku menangkap itu sebagai pekerjaan yang mudah sehingga aku tergoda untuk mencoba. Namun, ternyata tanganku tidak bisa melakukannya dengan baik. Berkali-kali kucoba tetap tidak berhasil. Akhirnya aku menyerah dengan bibir yang mengerucut.

“Kenapa harus bikin, sih, Wa?” tanyaku pada kakak lelaki ibuku. “kan ribet, padahal beli saja.”

Uwa tersenyum, lalu menjawab, “Ini sudah tradisi, dari dulu memang begini. Nanti kalau kamu sudah dewasa, kamu akan merindukan momen ini.”

Ternyata benar saja, setelah aku dewasa lebaran tidak seraya saat aku kecil. Memang ada kedalaman makna yang lebih kurasakan sekarang. Namun, tetap saja perayaan yang kini kurasakan tidak semeriah dulu.

Saat berbaring di kursi, ingatanku melayang pada malam takbiran masa kecil dulu. Kini, nenek kakek sudah tiada, kumpul saudara pun tidak seintens sebelumnya. Tidak ada lagi bikin ketupat bersama, sekarang aku lebih sering membelinya.

Aku jadi penasaran sejak kapan ketupat dijadikan makanan khas untuk hari raya lebaran. Tanganku menjulur ke atas meja, lalu kuambil ponsel berwarna hitam itu. Aku mengetik sejarah ketupat di Indonesia dan inilah yang aku dapat dari suara.com.

Menurut catatan sejarah ketupat pertama kali masuk saat Sunan Kalijaga menyebarkan agama Islam di pulau jawa, jadi sekitar pada abad ke-15. Saat itu Sunan Kalijaga menggunakan ketupat sebagai sebuah simbol atas perayaan Idul Fitri, ada dua budaya tentang ketupat yang beliau ajarkan yakni dua kali bakda. Bakda lebaran dan bakda Kupat, ada sebuah fakta unik tentang makanan yang satu ini yaitu ketupat merupakan frasa dalam Bahasa jawa ‘ngaku lepat’ yang artinya mengakui kesalahan.

Selain itu juga ada yang menyebutkan ketupat adalah sebuah singkatan dari ‘laku papat’, yang artinya perilaku empat.

1. LEBARAN
Lebaran memiliki makna usai, hal tersebut seolah menunjukan bahwa ketika memakan ketupat maka artinya waktu puasa sudah selesai yang artinya pintu maaf dan ampunan terbuka begitu lebar.

2. LUBERAN
Luber artinya melimpah, jadi dapat diartikan sebagai bentuk kepedulian sesama manusia dengan cara saling berbagi. Contohnya mengeluarkan zakat fitrah saat menjelang lebaran.

3. LEBURAN
Leburan berarti melebur atau habis, artinya saat Idul Fitri tiba maka segala dosa dan kesalahan kita akan diampuni, oleh karena itu kita diharuskan untuk saling memaafkan antara satu sama lain.

4. LABURAN
Yang terakhir adalah laburan yang artinya kapur, kapur selalu meninggalkan jejak putih. Hal tersebut seolah mengajarkan kepada kita untuk berbuat baik pada sesama dan selalu menjaga kesucian lahir dan batin.

Ketupat memang telah menjadi simbol hari raya lebaran dan semua orang mengetahuinya, tetapi tidak banyak yang memahami tentang filosofinya. Ini bukan hanya tentang kemeriahan dan keriuhan, ada makna mendalam yang dimilikinya. Mungkin, lebaran-lebaranku tidak akan pernah sama lagi dengan lebaran kala aku kecil. Namun, kini setelah aku tahu tentang perilaku empat, aku memaknai ketupat dengan berbeda.