Cerita Ramadan 2021

Tahun ini tahun kedua si sulung belajar puasa. Meskipun tahun kemarin usianya baru tiga setengah tahun, saya dan suami bersepakat untuk membiasakan dia berpuasa. Tentu saja, kami tidak langsung meminta dia berpuasa seharian. Seperti kebanyakan anak yang lain, dia berpuasa setengah hari. Namun, yang sedikit membedakan adalah dia berpuasa mulai dari azan zuhur sampai azan magrib.

Bukan tanpa alasan saya memilih waktu separuh hari yang berbeda dari kebanyakan anak yang sedang belajar berpuasa. Hal ini didasari keyakinan saya bahwa kesan pertama menentukan segala.

Saya ingin memberikan kesan pertama berpuasa yang menyenangkan dan tidak ada yang lebih menyenangkan dari saat berbuka. Itulah alasan si sulung berpuasa dari zuhur hingga magrib agar dia bisa merasakan sukacita saat berbuka puasa bersama keluarga.

Pada bulan Ramadan tahun kemarin, si sulung bocor lima hari. Tadinya untuk tahun ini, saya akan mencoba mengajak dia berpuasa full. Namun, tidak jadi karena masih agak susah direalisasikan, mengingat si sulung masih empat setengah tahun lebih sedikit.

Saya menyambut bulan puasa tahun ini dengan keyakinan penuh bahwa si sulung akan mampu menyapu bersih puasa setengah harinya. Toh, tahun kemarin saja yang bolong lima hari saja, tahun ini harusnya berakhir dengan gilang gemilang.

Akan tetapi, semua berjalan di luar prediksi. Tahun ini kami menghabiskan banyak waktu di rumah eyangnya anak-anak, yang artinya banyak para sepupu yang juga masih kecil, tetapi belum belajar berpuasa.

Jika tahun sebelumnya, yang difokuskan adalah kemampuan si sulung menahan lapar, kali ini saya juga harus menguatkan dia saat saudara-saudaranya makan dan minum saat siang hari.

Pernah suatu hari, di rumah Eyang ramai oleh anak-anak yang bermain, para sepupu dan teman si sulung. Salah seorang di antara mereka makan cemilan dengan lahap. Anak saya yang melihatnya merengek ingin mencicipi juga. Awalnya saya masih mencoba membujuk karena biasanya juga rengekan itu tidak berlangsung lama.

Akan tetapi hari itu berbeda. Si sulung bukan hanya merengek, tetapi dia sampai tantrum. Hal ini hampir membuat saya meledak. Pertahanan saya jebol saat dia muntah. Saya pun memberinya air hangat dan otomatis hari itu si sulung gagal dalam misi berpuasa sampai magribnya.

Hal positifnya, anak kami menjajal godaan yang lebih tinggi. Kami terus menanamkan pengertian bahwa tidak semua orang berpuasa, sehingga dia harus mengerti. Diharapkan kedepannya dia bisa menjadi pribadi yang penuh toleransi terhadap sesama. Meskipun, kami harus mengeluarkan jurus rayuan maut dan sogokan berupa satu kantong keresek jajanan bila dia berhasil puasa sampai magrib.

Pun, ada hikmah bagi sepupu-sepupu kecilnya. Di antara mereka ada juga yang ikut belajar berpuasa. Ada juga yang jadi mengerti tidak boleh makan dan minum di depan orang yang saum.

Secara kuantitas, ada penurunan dari jumlah hari anak kami berhasil buka saat azan magrib, tetapi dari segi kualitas insyallah tahun ini jauh lebih baik. Aamiin.